Selasa, 01 Desember 2009

Mengangkat Kemiskinan dengan Koperasi Kredit

Mengangkat Kimiskinan dengan koperasi Kredit



Kerja keras merupakan “hobi” Hosman Hurabalian (67). Meski telah pensiun mengajar Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, kesibukan Hutabalian tak pernah berkurang. Dia dipercaya menjadi Ketua Koperasi Kredit Satolop, salah satu koperasi kredit terbesar di Sumatera Utara sejak pertama berdiri tahun 1975.

Oleh KHAERUDIN

Koperasi Kredit Satolop, yang dalam bahasa Batak artinya sia sekata, merupakan salah satu yang terbesar di Sumatera Utaar karena dengan total aset Rp 17 miliar lebih.
Bersama empat rekannya, Pastor Josue Steyner, Paiman Situjgkir, Paulus Ong, dan Jamin Sihombing, Hutabalian mendirikan Satolop dengan prinsip kemiskinan, kesingsaraan, dan kebodohan masyarakat bisa hilang asal jaln piiran mereka dipersatukan untuk membangun kemandirian.
“Tekanan ekonomi bisa mempersatukan masyarakata asal ada yang mampu memimimpin mereka untuk bekerja keras,” tutur Hutabalian.
Satolop dibangun oleh 21 anggota pada 1975. simpanan wajib anggota kala itu hanya Rp 200 per bulan. “Baru setelah enam bulan kami bisa meminjamkan uang kepada anggota. Itu pun baru satu anggota yang bisa mendapat pinjaman, sebesar Rp 25.200. ini harus dibayar selama tiga bulan dengan bunga tiga persen per bulan,” katanya.
Dia bercerita, awalnya pinjaman tersebut belum selancar yang diharapkan. “Begitu ada rintangan, kami baru bikin peraturan,” kata pria kelahiran 27 Juni 1940 ini.
Salah satu aturan yang kini dipertahankan, jika anggota gagal membayar kredit, pengembalian utang menjadi kewajiban tiga anggota yang memberi jaminan. Untuk mendapatkan kredit di Satolop, seorang anggota harus mendapat kepercayaan dari tiga anggota lain.
Mereka ini disebut sebagai penakin, yang berkewajiban membayar utang jika anggota yang dijaminnya gagal membayaar. Dengan aturan seperti ini, kepercayaan menjadi modal utama bagi anggota Koperasi Kredit Satolop. Itulah satu-satunya syarat meminjam bagi anggota, dan rupanya mereka pun merasa lebih nyaman meminjam di koperasi dibanding pergi ke bank konvensional.

Pendidikan Moral
Kepercayaan menjadi kurikulum pendidikan bagi anggota. Anggota baru harus mengikuti pendidikan calon anggota setiap Minggu dalam lima kali pertemuan dengan durasi per pertemuan tiga jam. Setelah menempuh pendidikan ini, tiga bulan kemudian anggota bisa mendapat fasilitas pinjaman.
Pendidikan juga diwajibkan untuk setiap kelompok sebanyak sekali stiap dua bulan. Selain soal perkoperasian, materi pendidikan juga berisi hak dan kewajiban anggota, yang oleh Hutabalian disebut pendidikan moral.
Menjelang pelaksanaan pendidikan, setiap anggota diberi surat pernyataan yang sisinya harus membuang penyakit-penyakit moral. Ada 42 penyakit moral dalam budaya Batak yang harus dibuang jika ingin memelihara persatuan dan kesatuan koperasi , di antaranya ginjang roga (tinggi hati atau sombong), parhata ningku (mau menang sendiri), parjuji (judi), parmabuk (mabuk), paburuk-burukhon (menjelek-jelekkan orang lain) pabada-badahon (suka mengadu domba), dan pargabus (berbohong).
Seperti pengkhotbah, Hutabalian tak bosan mengingatkan setiap anggota agar menjauhi penyakit moral. Bisa di tengah ramainya anggota daatang ke kantor Satolop_biasanya Selasa yang jadi hari pasaar di Siborong-borong, untuk menyimpan uang atau mengambil pinjaman—Hutabalian tiba-tiba mengambil pengeras suara. Tempat duduk dia persis di belakang teller sehingga posisinya strategis.
Dengan suara lantang ia berkata, “Saudara, kalaulah ada surga di dunia ini, mungkin di sinilah (Koperasi Kredit Satolop) tempatnya. Meski ini jadi surga buat Saudara, tapi jangan sampai Saudara sekalian lupa. Pinjaman tetaplah harus dilunasai, karena koperasi ini bisa hidp dari kerja keras Saudara semua.”
Semua pidatonya menjelaskan tentang ke-42 penyakit moral yang harus dihindari. Gayanya khas, berpidato saat sraf kopirasi tengah sibuk melayani anggota, membuar sosoknya mudah dikenal, meski kini Satolop punya 4.895 anggota.

Kemiskinan di Desa
Cerita tentang pendirian Koperasi Kredit Satolop, menurut Hutabalian, tak lepas dari kemiskinan petani di desa. “Waktu itu, setiap pendeta berkhotbah di gereja, semua orang mengantuk karena badannya kurang sehat.”
Bersama keempat pendiri Stolop lain, Hutabalian aktif berdiskusi bagaimana mengubah kemiskinan orang-orang desa. “supaya tidak ngantuk, badan ini harus dijaga agar seimbang jasmani dan rohani. Dulu sedang marak sistem ijon. Rakyat harus kerja keras hanya untuk membayar bunga, yang sayangnya bunga tersebut dinikmati orang lain,” ujar ayah tujuh anak ini.
Dari situ timbul pikiran bagaimana agar rakyat terbebas dari lingkaransetan pinjam-meminjam dalam sistem ijon. “Kami kumpulkan dana sedikit-sedikit. Sesudah terkumpul, kami gantian memakainya. Tuhan itu mahapemurah, kita semua pasti pernah diberi yang sedikit, tetapi tak mengapa, setitik lama-lama menjadi bukit. Banyak atau sedikit, kami simpan sebagian penghasilan ini. Kalau meneak nasi, sebelum beras sampai ke periuk, ambillah sehenggam untuk disimpan,” ujar suami Sondang Nababan ini.
Prinsip itulah yang dia jaga selama lebih dari 30 tahun Satolop berdiri. Hasilnya terlihat sekarang, per Juli 2007, Koperasi Kredit Satolop memiliki aset sebesar Rp 17.848.747.306 dengan total kredit yang dikucurkan mencapai Rp 12 kiliar lebih.
Jumlah kredit yang telah diberikan kepada anggota sejak koperasi berdiri mencapai Rp 69.782.236.800. anggotanya tersebar di tujuh kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara, mulai dari Siborongborong, Lintong Nihuta, Sipahutar, Pagaran, Sipaholon, Muara, dan Perangin.
Bahkan, Hutabalian pun tak pernah membayangkan koperasi yang dia bina bisa sebesar sekarang. Dari koperasi yang hanya mampu memberikan total pinjaman Rp 805.400 hingga akhir tahun 1975, kini Satolop dapat mengucurkan kredit bermiliar rupiah seperti bank.
Kemiskinan dan tak adanya kesadaran akan kemampuan diri di kalangan petani Tapanuli Utara mulai terkikis dengan bantuan Koperasi Kredit Satolop.
“Sekarang, rakyat tidak lagi membayar bunga untuk orang laim. Bunga yang mereka bayarkan kembali kepada mereka sendiri (dalam bentuk sisa hasil usaha). Mungkin kalau negara kita bisa seperti ini. Indonesia tak punya utang lagi,” paparnya.

Pembasmi Hama dengan Fornula EKD

Ermina dan Pembasmi Hama dengan Formula EKD



Kenapa manusia begitu tidak adil terhadap alam? Manusia selalu mengambil yang terbaik dari alam, tetapi tidak pernah mengembalikan yang terbaik kepada alam. Berangkat dari konsep pemikiran ini Ermina Komala Dara meracik formula EKD yang multiguna.

Oleh C ANTO SAPTOWALYONO

EKD adalah kependekan dari nama perempuan kelahiran Palangkaraya, 19 November 1965 ini. Formula EKD ini dapat dimanfaatkan sebagai starter atau biang fermentasi bahan organik untuk membuat pupuk, pakan, biopestisida, bioherbisida, pembersih lantai, dan juga ramuan kecantikan alamiah.
Pembuatan formula EKD diawali dengan menyiapkan ragi. Bahannya akar pinang, akar alang-alang, kunyit, temulawak, lengkuas, serai, merica, cabe rawit, cengkeh, kayu manis, tembakau, cabe jawa, kapulaga, adas manis, jintan, bawang putih, dan pala.
Semua bahan tadi ditumbuk hingga halus, dicampur air dan disaring. Selanjutnya dicampurkan dengan tepung beras, digerus hingga rata, dengan kadar air 30 hingga 40 persen. Adonan tadi dikepal bulat seukuran bola pingpong dan ditekan bagian tengahnya.
Untuk mempercepat fermentasi dapat dibaluri ragi yang sudah jadi. Semua bahan tadi selanjutnya ditaruh pada nampan, ditutup rapat dengan kain, dan didiamkan dua hari dua malam. Kemudian, bulatan-bulatan tadi dijemur di terik matahari sekitar 10 hari. Jadilah ragi.
Pembuatan formula EKD dapat menggunakan tape ketan atau lahang (anding, minuman beralkohol tradisional Dayak). Caranya, tape ketan dimasukkan ke gentong, ditaburi ragi, kemudian ditambahi gula pasir dan air. Gentong ditutup rapat dan didiamkan sedikitnya dua pekan. Satu hingga dua kali sehari tutupnya dibuka dan diaduk. Maka, selesailah pembuatan formula EKD berbasis tape ketan.
Adapun formula EKD berbasis lahang diracik dengan mencampur ragi dan lahang dalam wadah tertutup, difermentasi tiga hingga empat hari, dan sesekali gas fermentasi dibebaskan dengan cara membuka tutup wadah. “Formula EKD pun dapat dibuat menggunakan bahan yang dikenal di sutau daerah, misalnya legen atau nira kelapa,” ungkap Ermina di Palangkaraya.

Multiguna
Formula EKD yang mudah di buat para petani ini, kata Ermina, memiliki banyak kegunaan, misalnya untuk membasmi hama penyakit tanaman. Ini antara lain sudah dipraktikkan petani cabai di Kalampangan, Palangkaraya, yang tanamannya diserang penyakit sehingga mengering seluruh batang dan daunnya sekitar Juli 2007.
Ermina waktu itu mengajak petani Kalampangan untuk mencari tana-man lain yang terlihat sehat di sekitar lahan cabai tadi. “Saya berkeyakinan tanaman yang sehat itu pasti memiliki zat yang mampu menangkal pe-nyakit,” katanya.
Dipetiklah daun lengkuas, serai, jambu air, dan jambu biji yang selanjutnya dipotong-potong dan dicampur dengan formula EKD. Larutan tadi kemudian dimasukkan ke wadah tertutup dan difermentasi selama lima hingga tujuh hari.
Larutan ini lalu disemprotkan tiap hari ke tanaman cabai hingga serangan berhenti. Hasilnya, dalam kurun waktu sekitar sebulan tanaman cabai yang kering kerontang tadi pun kembali menghijau dan berbuah.
Pemanfaatan EKD sebagai larutan pembasmi gulma tidak mahal, hanya sekitar Rp 20.000 per hektar. Ini karena bahan yang dipakai banyak tersedia dalam kehidupan sehari-hari, dan sama sekali tidak menggunakan bahan kimia buatan pabrik.
Ermina menyebutkan, formula EKD ini juga mampu meningkatkan produktivitas tanaman. “Prinsipnya, kembalikan yang terbaik kepada tanaman. Jangan hanya memanfaatkan limbah tanaman untuk dijadikan pupuk. Untuk menyuburkan tanaman jagung, misalnya, campurkan ekstrak jagung dengan EKD dan semprotkan ke daun jagung serta tanah di sekitar tanaman,” paparnya.
Berdasarkan hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan Badan penelitian dan Pengembangan Daerah Kalimantan Tengah tahun 2003, aplikasi pupuk EKD cair menghasilkan pipilan jagung mencapai 5,85 ton per hektar. Sebagai bandingan, tanpa perlakuan pupuk cair EKD ini, hasil pipilan jagung hanya 4,70 ton per hektar.
Untuk memupuk satu hektar tanaman jagung dibutuhkan sekitar 10 kilogram ekstrak jagung dan 10 liter EKD. Adapun untuk satu hektar tanaman tomat diperlukan empat kilogram tomat yang diekstrak dan empat liter EKD. Dilarutkan dalam air, dan siaplah cairan tadi untuk disemprotkan ke lahan.

Flu burung
Sapi Bali yang diberi pakan konsentrat plus EKD cair tambahan, beratnya per hari mampu mencapai 0,786 kilogram per hari. Ini lebih tinggi dibanding per-tambahan berat sapi yang tidak mendapat perlakuan EKD, yakni di kisaran 0,25 hingga 0,4 kilogram per hari.
Bahkan, menurut Ermina, ternak unggas yang diberi pakan dengan campuran EKD juga terbebas dari flu burung meski ternak di sekitarnya terkena wabah tersebut. “Ini antara lain sudah dicobakan di Kotawaringin Timur,” tuturnya.
Formula EKD sekarang sudah banyak dipakai dan dipraktikkan petani di berbagai daerah mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lainnya. Teknologi pemanfaatan EKD ini pun acap diseminarkan.
EKD dapat dimanfaarkan untuk pembersih lantai, yakni cukup dengan mencampurkan 55 cc larutan ini dengan satu ember isi lima liter air. “Bekas cacar dan jerawat juga dapat dihilangkan menggunakan masker berbahan rendaman beras dan EKD ini. Saya pernah memakainya,” kata Ermina.
Ermina tidak mau mematenkan temuannya itu karena dia ingin agar teknologi EKD yang ramah lingkungan dan murah ini dapat dimanfaarkan masyarakat seluas-luasnya. Dengan alasan sama, dia pun enggan bekerja sama dengan pabrikan. Melalui formula EKD ini, Ermina ingin melestarikan kearifan tradisional Dayak yang dikenal akrab dengan lingkungan dan mempunyai rasa memiliki alam. Ini dia wujud nyatakan dengan mengembalikan yang terbaik kepada alam melalui pemanfaatan EKD yang ramah lingkungan.

Haji Masngut, Susu dan Pertanian Terpadu

Masngut, Susu dan Pertanian Terpadu

Dia muncul dan malang-melintang dari bawah, sebagai petani, pe-ternak, maupun pedagang. Berbagai rintangan dihadapi dengan “bonek”- bondo nekat. Ia ingin mengangkat martabat petani Blitar selatan lewat perkebunan sawit.

Oleh: JA Noertjahyo
Masngut Imam Santoso (67) dilahirkan pada zaman revolusi kemerdekaan. Masa kecilnya sebagian besar dijalani pada masa susah. Masa sekolahnya kacau terkait agresi Belanda, sebab desanya, Kerjen di Kecamatan Srengat, sekitar 12 kilometer sebelah barat Kota Blitar, tak lepas dari berbagai alktivitas perjuangan.
Bangku SMP dan SMA dia selesaikan pada sekolah swasta Nasional di Blitar. ”Saya tidak diterima masuk sekolah negeri,” tuturnya. Karena status sekolahnya swasta, ia harus mengikuti ujian negara agar mendapat ijazah pemerintah. Uniknya, ijazah SMP dan SMA diperolehnya pada tahun yang sama, 1959.
Pendidikan Tingginya sampai sarjana muda, terkendala masalah ekonomi dan peristiwa G30S/PKI . Masngut lalu mengadu nasib ke Jakarta. Sekitar delapan tahun ia menjadi pedagang sayur di Pasar Senen, lalu pindah ke Pasar Kramat Jati. Ia kembali ke desanya tahun 1973 karena hidup di Jakarta dirasakan berat.
Di desa Masngut menjadi petani, peternak ayam, kambing dan sapi perah, seperti penduduk lain. Pemasaran hasil pertanian dan peternakan saat itu melalui tengkulak dan pasar tradisional. Posisi produsen lemah dan keuntungan lebih dinikmati tengkulak. Kondisi ini mengusik Masngut untuk menemukan jalan keluar agar petani tak menjadi bulan-bulanan pasar.

Koperasi Susu
Produksi susu di daerah Blitar yang terus meningkat membuat pasar tradi-sional tak mampu menyerap. Sementara koperasi susu posisinya lemah berhadapan dengan pabrik pengalengan.
Masalah utama yang selalu menjadi “permainan” adalah kualitas susu yang berimplikasi pada tingkat harga. Di sini peternak dan koperasi selalu kalah. Dalam posisi yang semakin terjepit, para peternak Kerjen sepakat mendirikan koperasi sendiri, terbentuklah Koperasi Rukun Santoso yang beranggotakan 25 peternak.
“Saat itu produksi susu sekitar 3.000 liter per hari,” cerita H. Masngut yang secara aklamasi dipilih menjadi ketua koperasi.
Namun, koperasi ini tidak dapat menjual susu langsung ke pabrik di Surabaya karena ada semacam monopoli koperasi-koperasi lain yang lebih dulu berdiri. Untuk menjadi anggota Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) yang menjadi “pintu” pemasok ke pabrik, juga terhambat berbagai persyaratan.
Namun, atas usaha keras dan perantara kenalan, Rukun Santoso dapat memasukkan susu secara langsung ke sebuah pabrik di luar Jawa Timur. Meski keuntungannya tipis, yang penting produksi anggotanya tertampung.
Akan tetapi, baru sekitar setahun pabrik menerima setoran dari Rukun Santoso, terjadilah mekanisme “hukum monopoli”. Koperasi yang sudah lama menjadi pemasok terbesar pabrik itu mengultimatum agar pabrik menghentikan setoran dari Rukun Santoso.
Jika tak dipenuhi, koperasi tersebut mau menghentikan pasokan. Ini akan mengakibatkan pabrik kekurangan bahan baku (susu segar) sehingga pabrik pun menurutinya. Surat pemberitahuan bahwa 2 pekan lagi pabrik tak dapat menerima setoran susu dari Kopersai Rukun Santoso pun diterima Masngut.
“Kami panik dan bingung, bagaimana mencari pasar baru dalam waktu sesingkat itu,” ujarnya.Dalam situasi sulit itu Masngut memutuskan pergi ke Jakarta, mencari informasi pemasaran susu dari kenalan saat berdagang sayur di Karmat Jati. “Saya keliling Jakarta sampai Bandung dengan bondho nekat. Tidur dari masjid ke masjid, makan seadanya sambil terus mohon petunjuk kepada Allah,” tuturnya.
Melalui seorang teman di Koperasi Pasir Jambu, Bandung, ia berkenalan dengan pimpinan bagian pembelian pabrik susu di Jakarta yang sedang mencari pasokan susu segar. Pucuk dicinta ulam tiba, terjadilah kesepakatan jual-beli di antara mereka. “Allah mendengarkan doa orang yang terhimpit kesulitan,” ucapnya.
Kiriman pertama susu segar dari Srengat ke Jakarta terjadi pada 22 Februari 2003 sebanyak 5.000 liter, dengan truk tangki Rukun Santoso. Yang meng-herankan, kualitas susunya dikategorikan nomor satu. Ini berbeda dengan kualitas yang ditentukan pabrik lama. Maka, selain mendapat pasar, para peternak juga memperoleh keuntungan lebih besar.
Jumlah permintaan susu dari pabrik di Jakarta terus meningkat, dari 5.000 liter per hari, dalam empat tahun melonjak menjadi 63.000 liter per hari atau pada Septrember 2007. Armada angkutan koperasi yang semula dua truk, sekarang menjadi 14 truk.
Perkembangan pesat ini memunculkan kekhawatiran pengurus koperasi. Mereka khawatir tak mampu memenuhi permintaan, apalagi ada permintaan baru dari Jawa Tengah dan daerah lain. Untuk itu Rukun Santoso mempelopori terbentuknya Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) dengan kantor pusat di Kota Malang. Asosiasi ini bertugas mengoordinasikan pemarasan susu dari para anggota, dan Masngut menjadi kertua umum.

Pertanian Terpadu
Ia memperkenalkan usahanya sebagai pertanian terpadu (Integrated farming) ramah lingkungan. Saat ini kegiatan terbesar pada ternak ayam petelur, sapi perah, ternak ikan, pabrik pupuk organik, pakan ternak, dan transportasi
Kotoran ternak (ayam dan sapi) tak mencemari lingkungan, karena dengan tambahan beberapa bahan tertentu dapat diproses menjadi pupuk organik. Sebagian kecil kotoran ayam “ditampung” dalam kolam-kolam di bawah kandang untuk pakan ikan (lele dan gurame).
Sementara kotoran yang tercecer menjadi makanan ceremende (sejenis kecoa), hewan yang mudah berkembang biak dan disukai ikan. Jadilah sekitar 70 persen pakan ikan dicukupi dari limbah peternakan ayam.
Padahal, ikan juga usaha menguntungkan. Sebagai gambaran, empat tahun lalu biaya naik haji Masngut dan Istrinya dibayar dari penjualan sekali panen kolamnya.
Pakan sapi perah di desa ini terjamin sepanjang tahun. Limbah pertanian begitu melimpah, ditambah hampir tiap jengkal tanah dapat ditanami rumput gajah. Kini, meski warga Blitar menempatkan dia sebagai pengusaha sukses, Masngut tetap suka naik motor keliling desa mengontrol usaha, memeriksa kandang dan pakan sapi perah, telur ayam, kolam ikan, areal pembibitan kelapa sawit, atau kualitas produksi susu.
Walaupun sudah mapan, namun Masngut tak ingin berhenti. “Pada usia setua ini saya ingin mengabdikan diri, ilmu, dan pengalaman untuk masyarakat,” ujarnya. Untuk itu ia mengandeng Ric Widodo yang berpengalaman mengelola perkebunan, tokoh peternak unggas Marmin Siswoyo, dan beberapa profesional bidang lain, mendirikan Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Mandiri T5 (LKMM-T5). Proyeknya, membuat Blitar selatan yang gersang menjadi perkebunan sawit, jarak pagar, pembibitan sapi, dan Pabrik pupuk organik. JA Noertjahyo

SRI adalah Budidaya Padi Hemat Air

*Budidaya Padi Hemat Air

SRI (System of Rice Intensification) adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara. Metode ini terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50%, bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100%.

Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh biarawan Yesuit asal Perancis bernama FR. Henri de Laulani, S.J. Oleh penemunya, metodologi ini selanjutnya dalam bahasa Perancis dinamakan Le Syst me de Riziculture Intensive disingkat RSI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI.

Sampai dengan tahun 2006, SRI telah berkembang di 36 negara, yaitu: Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, Bangladesh, Cina, India, Nepal, Srilangka, Gambia, Madagaskar, Mozambique, Sierra Leone, Ghana, Benin, Barbados, Brasil, Cuba, Guyana, Peru, Amerika Serikat, Afganistan, Iran, Irak, Pakistan, Burkina Faso, Ethiopia, Guinea, Mali, Zambia, Colombia, Republik Dominika dan Haiti.

SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya Norman Uphoff (Director of Cornell International Institute for Food, Agriculture and Development). Pada tahun 1997, Uphoff mengadakan presentasi SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar.

Uji coba pola SRI pertama di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi, Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan musim hujan 1999/2000 dengan hasil rata-rata 8.2 ton/ha.

Penanaman Padi Hemat Air dengan sistem SRI merupakan suatu kegiatan proyek DISIMP (Decentralized Irrigation System Improvement Project in Eastern Region of Indonesia) kerjasama antara Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Direktorat Jendral Pengairan Departemen Pekerjaan Umum dan Japan Bank For International Cooperation (JBIC).

Proyek Padi Hemat Air ini telah dijalankan di beberapa propinsi di Indonesia yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Gorontalo.

Kelebihan SRI (System of Rice Intensification)
1. Tanaman hemat air
2. Hemat biaya (butuh benih 5kg/ha, tidak butuh biaya pencabutan bibit, tidak butuh biaya pindah bibit, tenaga tanam berkurang dll.)
3. Hemat waktu (ditanam bibit muda 5-12 hari setelah semai, panen lebih awal)
4. Produksi dipastikan bisa meningkat, dibeberapa tempat mencapai 11 ton/ha.

Pertanian Organik Produk Sehat dari Alam

*Produk Sehat dari Alam

"Setidaknya ada lima ciri pertanian yang ber-roh," kata petani Gatot Surono (73) di hadapan puluhan petani di Dusun Karang Wetan, Desa Tegaltirto, Berbah, Sleman. Pertanian ber-roh itu berwawasan lingkungan, murah secara ekonomi, sesuai dengan budaya setempat, berkeadilan sosial yang manusiawi, serta menghargai kepemilikan pribadi.
Pertanian ber-roh yang dimaksud tidak lain adalah pertanian alami(Pertanian Organik). Jenis pertanian ini mengandalkan segala hal yang ada dalam kehidupan, mulai dari manusia, ternak, tumbuh-tumbuhan, mikroorganisme, air, hingga udara. Di situ ada saling ketergantungan, keterkaitan, serta saling membutuhkan.
Karenanya, setiap langkah bertani organik yang disampaikan Gatot Surono petani asal Purbalingga, Jawa Tengah selalu berbasis pada kelima dasar itu. Petani organik selama lebih dari 20 tahun ini membagikan ilmu untuk mendatangkan hewan-hewan pengurai yang membantu percepatan pembusukan pupuk kompos, atau obat untuk mempercepat pertumbuhan buah atau bunga, serta cara pengendalian hama. Semua bahan didapatkan secara mudah dan murah karena telah disediakan alam.
Pelajaran pertama yang dimulai untuk setiap daerah baru adalah pembuatan perangsang mikroorganisme untuk pembusukan serta pembuatan pupuk. Petani sesungguhnya mempunyai kesempatan untuk membuat sendiri pupuk sesuai kebutuhan tanah atau tanaman mereka. Sebagai contoh, bila petani ingin mengurangi residu kimia yang selama ini bersarang di tanah, pemakaian daun bambu akan menyerap kandungan kimia sisa pertanian hijau puluhan tahun.
Jerami sisa panen padi sebelumnya merupakan modal untuk membuat pupuk, selain juga dapat digunakan untuk pakan ternak. Dalam pertanian hijau, keberadaan jerami tidak dibutuhkan dalam proses pertanian berikutnya. Maka, tak heran bila kita kerap melihat petani membakar jerami di sawah yang habis dipanen.
"Kalau petani konvensional mau langsung bertani organik murni, ya bisa saja. Hasil yang didapatkan juga tidak akan jauh berkurang dibandingkan pertanian hijau. Tinggal caranya saja yang perlu dipelajari," kata Gatot.
Yang tidak kalah pentingnya adalah Organisasi Kelompok Tani. Di sinilah petani mempunyai wadah untuk bertukar cerita dan pengalaman seputar proses pertanian organik yang mereka kerjakan. Di samping itu, kelompok tani juga memperkuat para petani untuk menentukan harga jual produk pertanian yang mereka hasilkan.
Keseimbangan alam jugalah yang diterapkan Prasetyo Bowo (31) atas tanah yang diolahnya selama 7 tahun menjadi sawah organik. Petani di Dusun Brayut, Pendowoharjo, Sleman, ini juga menanam tanaman sayur untuk mencukupi kebutuhan harian serta memelihara 2 sapi untuk mendukung pertanian.
Hasil utama dari sapi itu bukanlah susu atau dagingnya, melainkan kotoran dan urine yang menjadi bahan utama untuk pupuk. Susu perah yang diambil harian merupakan "bonus" untuk menambah penghasilannya yang mengolah pertanian terpadu di atas lahan seluas 6.000 meter persegi ini. Sedangkan sebagian daun-daunan dari pertanian digunakan sebagai pakan ternak.
"Ilmu pertanian organik memang tidak ada habis-habisnya. Sampai sekarang saya juga masih terus belajar untuk mendapatkan metode paling efisien dengan modal yang saya miliki," tuturnya. Pemerhati pertanian organik mungkin bisa bernapas lega karena ternyata masih ada orang-orang muda seperti Prasetyo yang tertarik untuk terjun dalam pertanian organik.
Di Dusun Kleben, Desa Sidorejo, Godean, Sleman, petani yang tergabung dalam kelompok tani Bangun Rejo membuat laboratorium penelitian sebagai tempat berlatih para petani. Di laboratorium itu eksperimen ilmu-ilmu pertanian organik bisa dilakukan.
Kini, petani di Dusun Kleben itu tengah mencoba pembuatan urea cair organik yang berbahan dasar ikan air tawar yang dicampur dengan gula, dan ditutup rapat sekitar 3 bulan. Hasil fermentasi yang berbentuk cair itu digunakan sebagai biang untuk memupuk padi mereka.
Di tanah yang digunakan untuk laboratorium kelompok ini jugalah petani mencoba alih lahan dari pertanian hijau menjadi pertanian organik secara langsung. Pemakaian daun bambu diandalkan untuk menyerap bahan-bahan kimia dari tanah. Hasilnya, bobot gabah yang dipanen tidak berbeda dibandingkan gabah anorganik. Hasil ini selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Akan tetapi, Ketua Kelompok Tani Bangun Rejo, Purwanto, mengakui tidak semua petani berani menggunakan bahan-bahan organik 100 persen. Sebagian petani masih menambahkan pupuk kimia untuk tambahan. Pemakaian pupuk kimia ini dikurangi sebagian dalam setiap periode penanaman padi berikutnya.
Ia menambahkan, petani juga menerapkan metode peminjaman bibit bergulir, untuk petani dari daerah lain yang ingin mendapatkan bibit lokal. Bibit lokal ini diberikan kepada petani dari daerah lain secara gratis. Namun, petani itu harus melakukan konservasi atas bibit lokal tersebut sehingga setelah panen ada sebagian gabah yang digunakan untuk bibit lagi. Bibit tersebut digulirkan kepada petani lain yang ingin menerapkan metode pertanian organik. Salah satu keunggulan pertanian organik adalah pemakaian bibit lokal yang bisa terus menerus dilestarikan sehingga petani bisa menghemat pengeluaran untuk membeli bibit.
Bibit lokal ini pula yang memungkinkan petani untuk menggunakan satu gabah untuk tiap satu lubang tanam. Satu gabah itu akan berkembang menjadi puluhan anakan padi. Metode ini dikenal dengan nama system rice intensification (SRI). Dibandingkan metode konvensional, penanaman satu gabah untuk satu lubang tanam tidak dimungkinkan. Kebutuhan gabah per lubang tanam setidaknya tiga butir gabah, dengan anakan yang dihasilkan hanya belasan saja.
Keuntungan petani organik lainnya berupa katul dan menir. Di Desa Balak, Kecamatan Cawas, Klaten, sebagian petani organik menggunakan katul organik sebagai bahan pembuat minuman, yang juga bisa dijadikan alternatif pangan. "Syaratnya, proses pertanian yang digunakan harus betul-betul organik. Bila tidak, katul yang diperoleh masih mengandung bahan kimia," ucap Iryanto, salah satu petani organik yang bergabung dalam paguyuban tani organik.
Pengembangan pertanian organik inilah yang telah dilakukan sejumlah petani untuk menjadi mandiri dan melepas ketergantungan mereka dari apa pun. Peran negara diperlukan untuk melindungi aset yang berharga untuk pertanian organik, termasuk pendidikan petani, lahan, ternak, dan keseimbangan ekosistem. Inilah wujud "perlawanan" atas sebuah sistem besar yang telah menggurita puluhan tahun di tanah pertanian kita.
Antonius Budisusila dari Universitas Sanata Dharma menambahkan, sebagian petani mulai menerapkan vermaculture atau pertanian organik yang memperluas ketergantungan antara satu sarana produksi dan sarana produksi lain.
Sebagai contoh, air limbah rumah tangga yang tidak mengandung zat kimia digunakan untuk pengairan tanaman di sepanjang aliran tersebut. Selain mencukupi kebutuhan air untuk tanaman, air limbah itu tidak mengalir begitu saja, tetapi sudah dimanfaatkan lagi. "Satu hal yang perlu diwaspadai adalah munculnya ketergantungan baru pada pertanian organik, yakni adanya penjualan sarana produksi seperti obat pengendali hama atau pupuk organik yang diproduksi pabrik. Produk ini akan membuat ketergantungan petani pada produk organik, namun yang dihasilkan pabrik," ucapnya.

Senin, 30 November 2009

Pupuk Organik Cair dari Urine Manusia

MEMANFAATKAN URINE MANUSIA
UNTUK PUPUK ORGANIK CAIR


Membuat PUPUK ORGANIK CAIR dari urine hewan ternak itu sudah biasa. Bagaimana jika urine yang digunakan adalah urine manusia alias air kencing kita sendiri ? sepertinya menjijikkan bahkan bagi sebagian orang mungkin "mengerikan". Tapi itulah yang terjadi di Purworejo, Jawa Tengah. Berikut ini adalah petikan laporannya yang kami ambil dari situs resmi pemerintah Kabupaten Purworejo. Resep ini telah dibuktikan oleh kelompok tani setempat jadi jangan ragu untuk mencobanya. Mungkin ada dari teman- teman berminat mencobanya...? silahkan mencoba dan semoga sukses....

MEMANFAATKAN URINE MANUSIA UNTUK MEMBUAT PUPUK ORGANIK CAIR
Kelompok tani tanaman pangan Ngudi Makmur Desa Bragolan Kecamatan Purwodadi, mengandalkan pupuk organic buatan sendiri untuk memupuk tanaman padi. PUPUK ORGANIK CAIR yang terbuat dari komposisi urine (air seni) manusia itu, terbukti menyuburkan tanaman sehingga menghasilkan produk padi yang lebih banyak. Menurut salah seorang pengurus kelompok tani Ngudi Makmur Purwo Budiyanto, PUPUK ORGANIK CAIR ini merupakan komposisi dari berbagai bahan alami dengan proses pembuatan yang sangat mudah. Bahan yang dibutuhkan hanya 5 liter urine manusia, 600 gram susu putih cair kalengan, 250 gram kunyit, 1 ikat daun orok-orok beserta akarnya, dan 5 sendok teh micin (penyedap rasa untuk masakan).
Cara pembuatannya juga relatif mudah. Kunyit diparut dan disaring untuk diambil airnya, sedangkan daun orok-orok beserta akarnya ditumbuk diambil airnya. Air kunyit dan air daun orok-orok dicampur dengan urine, susu cair, dan micin. Campuran bahan tersebut diaduk hingga rata, lalu direndam selama I minggu (7 hari)
Selama perendaman harus ditutup rapat dan disimpan ditempat sejuk. Realisasi pupuk cair itu menjadi seberat 500 cc dengan warna hitam kecoklatan. Sedangkan aplikasinya, setiap 250 cc dicampur 14 liter air. Kemudian disemprotkan ke daun tanaman padi. Lebih efektif ke daun bukan ke tanahnya, karena memang sasaran pupuk ini untuk daunnya, ujar Purwo yang didampingi Kasemo dan Pardi. Penyemprotan dilakukan pada tanaman umur 7-10 hari, dengan volume penyemprotan sebanyak 4 kali. Jarak penyemprotan pertama dan seterusnya antara 5 s/d 7 hari. Penyemprotan juga boleh dilakukan selama malai padi belum keluar. Tetapi kalau tanaman padi sudah mulai berbuah (mratak), jangan melakukan penyemprotan. Sebab akan mengganggu proses pembuahan tanaman padi, akibatnya padi lebih mudah rontok, kata Purwo. PUPUK ORGANIK CAIR ciptaan sendiri ini, telah diterapkan pada lahan sawah seluas 2000 meter persegi milik kelompok tani Ngudi Makmur di Desa Keduren Kecamatan Purwodadi. Kebutuhan pupuknya 500 cc kali 4 penyemprotan, sehingga totalnya 2000 cc PUPUK ORGANIK CAIR. Hasilnya sangat bagus dibanding tanaman di sebelahnya yang tidak menggunakan pupuk ini. Selain hasil tanamannya lebih bagus, dari segi biaya produksinya juga sangat hemat. Kelebihan pada tanamannya antara lain daun lebih hijau, pertumbuhan batang padi lebih panjang, malai lebih panjang, menambah peranakan padi, dan tanaman terlihat lebih kekar, serta buahnya lebih banyak. Bau yang ditimbulkan pupuk ini sangat menyengat, sehingga hama tidak mau mendekati tanaman. Kelompok tani Ngudi Makmur yang beranggotakan 36 orang itu, sengaja tidak merahasiakan cara pembuatan PUPUK ORGANIK CAIR hasil ciptaanya sendiri, justru sebaliknya pembuatan pupuk ini agar bisa diketahui siapa saja yang membutuhkan. Kami lebih mengutamakan pada sisi kesehatan yang dicanangkan pemerintah tentang go organik. Sehingga pembuatan PUPUK ORGANIK CAIR ini, tidak hanya untuk kelompok tani kami saja tetapi untuk bisa diterapkan kepada petani yang lain,katanya. Kelompok tani ini juga memiliki keyakinan tentang persahabatan dengan alam. Yakni alam sahabat manusia yang senantiasa mendukung manusia, tentu kita sebagai manusia harus bersahabat kembali dengan alam. Caranya melestarikan lingkungan dan memanfaatkan potensi lingkungan untuk dibudidayakan PUPUK ORGANIK CAIR, sehingga bias kembali ke alami.Selain membuat PUPUK ORGANIK CAIR kelompok tani Ngudi Makmur juga membuat penangkaran benih padi unggulan jenis baru. Yakni benih padi varietas ciboga dan benih padi varietas mekongga. Masing-masing benih dipasarkan dengan harga murah yaitu Rp 25 ribu per-sak ukuran 5 kg.

Sinergisme Tanaman Obat Indonesia

Susiani, Sinergisme Tanaman Obat Indonesia

“Pengetahuan obat tradisional landasannya tradisi. Selama tradisi dipegang, tak akan ada efek buruk. Saya meneliti, bukan karena ilmu saya melebihi nenek moyang. Saya justru belajar dari mereka. Yang saya lakukan adalah mencari pembenaran.”

Oleh : Amir Sodikin
Hal itu disampaikan Dr Susiani Purbaningsih DEA, peneliti tanaman obat, yang juga Sekretaris Pascasarjana Universitas Indonesia.
“Senyawa kimia apa saja yang berkhasiat sehingga dapat memberi alasan ilmiah mengapa nenek moyang kita menggunakan tanaman itu sebagai obat,” paparnya lagi.
Perjalanan para peneliti sampai kini belum mendapatkan kebenaran mutlak pada kadar berapa senyawa-senyawa itu bersinergi, dan bisa menjadi obat. Sinergi itu masih misteri dan terus diteliti. Susiani, salah satu biolog yang berusaha belajar memahami sinergisme itu.
Merasa tak cukup dengan laboratorium di kampus, dia membangun laboratorium di rumah dengan biaya sendiri. Laboratorium ini bahkan lebih memadai dibandingkan dengan labora-torium di kampus. Karena itu, banyak mahasiswa memanfaatkan laboratorium pribadinya.
“Labnya kecil, tetapi cukup untuk menjalankan penelitian, terutama kultur jaring,” kata Susiani yang sedang meneliti tanaman obat dan kloning anggrek.
Pekarangan rumahnya di daerah Cimanggis, Depok, Jawa Barat, dipenuhi anggrek dan tanaman obat yang diberi label nama agar bisa menjadi tempat belajar masyarakat. Selain mendalami tanaman obat, Susiani yang hobi anggrek juga ahli dalam bidang kloning anggrek.
Walaupun mengenyam pendidikan S-2 dan S-3 di Universitas Montpellier II Perancis, ahli fisiologi tumbuhan dan kultur jaring ini justru kembali menggali ide-ide penelitian dari pengetahuan tradisional nenek moyang. Sesuatu yang masih misteri bagi dunia ilmiah.
Bersama para mahasiswa, ia larut dalam penelitian pegagan (Centella asiatica) dan kemuning (Murraya paniculata). Pegagan mengandung asiaticoside, than-kunside, madfecassmoside, madasiatic acid, brahmocide, centellose, dan brahmic acid.
Salah satunya berkhasiat antikeloid dan dipercaya sebagai gingko biloba-nya Indonesia karena bisa menghambat kerusakan memori akibat penuaan dan memperbaiki sistem saraf. Autis juga dipercaya bisa disembuhkan dengan pegagan.
Kemuning biasa digunakan sebagai penghalus kulit, mengobati keputihan, dan peluruh lemak. Kemuning mengandung berbagai senyawa, di antaranya cadinene, methyl-anyhranilate, bisabolene, geraniol, carene-3, eugenol, citronellol, paniculatin, coumurrayin, tanin, dan methyl-salicylate.

Meneliti Sinergisme
Masyarakat banyak yang tidak tahu beda antara penggunaan tanaman obat racikan sendiri (simplicin) dan ekstraksi. Dulu, nenek moyang hanya meracik selembar daun pegagan atau kemuning, tetapi bisa menyembuhkan. Mengapa bisa berkhasiat padahal jumlahnya sedikit ?
Ternyata, khasiat tumbuhan tak ditentukan satu senyawa saja. “Ada sinergisme dan antagonisme, tak hanya satu dan tidak harus dalam jumlah banyak. Itulah konsep dalam keseimbangan dalam tanaman obat,” ungkap Susiani.
Masing-masing zat bersinergi positif, walaupun sedikit tetapi kuat. Ini yang seharusnya menjadi perhatian peneliti agar jangan hanya terpaku pada peran satu senyawa. Berbeda dengan hasil ekstrak, yang terbawa hanya sebagian senyawa sehingga bisa kehilangan sinergisme.
“Pembuatan ekstrak harus dilakukan secara cermat, dan masyarakat harus diberi tahu sampai berapa dosisnya untuk digunakan sebagai obat. Kalau senyawa yang digunakan berlebih, bisa merugikan,” papar Susiani.
Ia menambahkan, zat pengektraksinya jenis apa, juga harus disampaikan kepada masyarakat. Begitu pula tentang cara penggunaannya, apakah harus dengan resep dokter atau tidak. Ini mengingat setiap senyawa punya peran dan tak perlu banyak jumlahnya.
Kepercayaan masyarakat terhadap obat tradisional kini turun, dan lebih mempercayai obat kimia. Padahal, keanekaragaman hayati Indonesia kaya, dan bisa jadi tindakan preventif untuk mencegah sakit.
Menurut Susiani, di tingkat pengambil kebijakan, tak ada upaya serius mengangkat pamor tanaman obat. Fenomena ini bisa dipahami karena industri farmasi modern telah menjadi kekuatan luar biasa. Negara sedang berkembang dibuat tak berdaya terhadap ketergantungan obat kimia.
Kepercayaan justru tumbuh di negara maju. Mereka yang tak memiliki sumber hayati melimpah justru agresif meneliti, seperti Jerman, Jepang, dan Iatalia. Dengan berbagai cara, mereka mendapatkan sumber hayati dari negara tropis.
Pengetahuan tradisional dan sumber hayati banyak dibajak negara lain. Meniran, misalnya, salah satu senyawanya sudah dipatenkan Jepang.
Buah Kapulogo sudah lama diteliti Perancis.” Tahun 1987 saya kuliah di sana, dan mereka sudah meneliti kapulogo yang bijinya didatangkan dari Indonesia,” tutur Susiani.

Edukasi Kembali
Generasi sekarang sudah tak memiliki pengetahuan tanaman obat karena miskinnya edukasi soal itu. “Di pasar, saya sering melihat jamu-jamu dijual dalam bentuk yang salah. Sedih saya melihatnya,” kata Susiani.
Masyarakat harus mendapat informasi cara mengeringkan yang benar, jangan sampai bahan aktifnya rusak. “Tumbuhan itu ada yang tahan terhadap panas, ada yang tidak, Pengering bisa menggunakan suhu 38 derajat Celsius, tetapi waktunya sebentrar,” tutur Susiani.
Di dalam bagian tumbuhan ada zat-zat yang tak boleh masuk menjadi obat. Biji buah mahkota dewa, misalnya, tak boleh diikutsertakan kecuali oleh orang yang tahu. Bijinya bersifat toksin dan mematikan jika digunakan berlebihan.
Harus juga dimengerti, ada tumbuhan tertentu yang tidak dianjurkan untuk orang tertentu, misalnya sedang hamil dan tekanan darah rendah. “Hal seperti ini harus disosialisasikan pemerintah kepada masyarakat,” kata Susiani.
Dibandingkan dengan China dan India, dukungan pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat agar sehat dengan tanaman yang dimiliki sangat kurang. Dulu, ada penggalakan apotek hidup dan tanaman obat keluarga atau toga.
Jika masyarakat memiliki pengetahuan cukup, pascabanjir misalnya, seharusnya warga korban banjir tak terlalu bergantung pada datangnya bantuan obat. “Mereka cukup memanfaatkan tanaman yang ada, misalnya jika terkena gatal bisa menggerus daun sambiloto dan brotowali,” kata Susiani.
Penyakit TBC pun bisa sembuh dengan sambiloto yang dikenal bagus antibiotiknya. Batuk bisa sembuh dengan daun saga, daun karuk, dan kencur. Flu bisa hilang dengan adas, jahe merah, dan temulawak. Rematik bisa diobati dengan tanaman meniran, sindaguri, dan sambiloto. Asam urat juga bisa diatasi dengan sindaguri, anting-anting, dan meniran. “Resepnya sederhana, dan jika dicoba untuk pengobatan preventif, maka masa produktif warga akan lebih tinggi. Bangkitkan kembali sehat sebelum sakit,” ujar Susiani. Diperlukan sinergisme antara peneliti, pemerintah, dan media masa guna membangkitkan pamor tanaman obat. Satu pihak tak bisa mendominasi peran, dan pihak lain tak boleh absen, itulah sinergisme seperti yang diajarkan tanaman.

Sudarno Pencipta Tongnopos dan Cairan MBS

Sudarno, Tak Lelah Bereksperimen Sampah


Dua tong sampah di teras rumah Sudarno di Surabaya memang lain. Walaupun berisi sampah organik, saat tutupnya dibuka tak tercium aroma menyengat khas sampah. Bahkan, lalat pun enggan hinggap di sekitarnya.

Oleh MARULI FERDINAND
Sudarno menamai tong ciptaannya itu “Tognopos”, singkatan dari Tong Darno Kompos. Sesuai dengan namanya, tong itu diciptakan untuk mengambil air lindi (air sampah) yang dijadikan pupuk cair. Air itu keluar dari keran yang desediakan guna menghasilkan pupuk cair. Untuk itu, sampah organik harus dibiarkan selama sebulan. Tutup tong mesti rapat agar tak banyak udara bebas yang masuk.
Ke dalam Tongnopos, Sudarno menyemprotkan cairan MBS, singkatan “manis bara Sudarno”, juga ciptaannya. Manis, karena bahan dasar cairan berasal dari tebu muda dan Bara, karena tebu itu dibakar. Tebu bakar lalu digiling dan cairannya dijadikan MBS. Cairan itulah yang menghilangkan bau sampah organik dan membuat alergi lalat dan kecoak. MBS juga bisa menghilangkan bau tak sedap lainnya, seperti bangkai dan kotoran hewan. “Sama sekali tak ada zat kimia dalam MBS, begitu juga Tongnopos,” ujarnya.
Sudarno juga mencampurkan gas minyak dalam MBS. Ini untuk menghindari pedagang ayam nakal, yang mungkin menjual bangkai ayam tak berbau dengan menyemprotkan MBS. Bau gas minyak tak hilang meski ayam dimasak hingga matang. Dengan begiru, orang enggan membeli ayam mati yang berbau gas minyak. Kalaupun ada orang yang terlanjur memakannya, gas itu tak berbahaya.
Sebelum menciptakan Tongnopos dan MBS, Sudarno lebih dulu membuat Batem alias Bata daleme macem-macem. Bata berwarna putih itu merupakan campuran pasir, semen, juga sampah, baik yang mudah maupun sulit terurai. Sampah itu diantaranya plastik, stirofom, kardus, hingga kulit padi. Bata temuan dia kini tersebar di Jawa Timur, Bali, dan Jakarta.
Berkat berbagai penemuan itu, pada 5 Juni 2007 dia mendapat penghargaan Kalpataru tingkat Nasional.

Tong pembakaran
Bapak empat anak ini bukan orang yang mendalami sampah secara akadimis. Semua bermula sikitar tahun 1999-2000 ketika dia bertugas di dinas Perumahan dan Penyehatan Lingkungan Kota Surabaya. Sudarno berpikir, apa pun tugas ang diemban dinas itu, pasti tak jauh dari persoalan sampah.
Suatu hari dia berjalan-jalan ke tempat pembuangan akhir (TPA) yang berlokasi di Keputih. Di tempat itu dia melihat mesin pembakaran sampah yang berjalan “setengah-setengah”. Mesin itu berjalan hanya jika ada kunjungan para pejabat pemerintah kota. Selebihnya, hanya pemulung yang duduk-duduk di sekitar. Belum lagi bau sampah yang menyengar, bahkan jauh sebelum masuk areal TPA.
“Seharusnya saya sebagai orang teknik bisa menciptakan alat pembakaran sampah yang setiap saat berfungsi dan bisa mendaur ulang semua jenis sampah,” tutr lulusan D-3 institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jurusan Konstruksi ini.
Maka, Sudarno mulai bereksperimen di rumahnya. Sebuah dandang nasi milik istrinya dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi tempat pembakaran sampah. Dandang itu ditutup rapat-rapat. Alat tersebut memang bisa membakar semua jenis sampah, organik dan non organik. Sayang, umurnya hanya tiga bulan, dandang itu lalu meledak.
Akan tetapi, dia tak patah semangat. Ia terus mencoba membuat tempat pembakaran yang lebih besar. Kali ini Sudarno menggunakan sebuah tong yang biasa dipakai menyimpan oli atau minyak tanah. “Saya menduga, dandang meledak karena suhu di dalam terlalu tinggi. Lagi pula tak ada tempat keluar asapnya,’ katanya.
Belajar dari pengalaman, ia memanfaatkan sebuah pipa agar asap pembakaran bisa keluaar. Ciptaannya sukses. Namun, para tetangganya keberatan sebab asap yang keluar sangat mengganggu. Dia pun berhenti bereksperimen dengan tong dan mulai membuat Batem.

Tayangan televisi
Tahun 2004 Sudarno melihat tayangan televisi yang menyorot masalah sampah di Surabaya. Saat itu dia berkantor di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya. Dia melihat seorang anak sedang belajar di atas tumpukan sampah dengan masker menutup hidung dan mulut. Cukup lama juru kamera mengambil adegan itu. Ditampilkan pula gambar beceknya jalanan di sekitar lokasi karena rembesan air sampah.
“Saya tertegun melihat gambar itu, bagaimana anak-anak bisa pintar kalau belajar di tempat yang bau? Pasti akhirnya mereka memilih tidak belajar,” katanya.
Dia kembali bereksperimen dengan tebu untuk menghilangkan bau sampah. Setahun kemudian MBS berhasil diciptakan. Untuk menguji coba cairan penghilang segala bau itu, ia bergerilya keliling kampung, menyemprotkannya pada tong sampah millik para tetangga. Ini dia lakukan hampir tiap pagi.
Said Munaji, tetangganya, berujar, “Rupanya dulu Bapak nyemprot sampah saya dengan cairan itu, pantas tiba-tiba tong sampah saya tidak bau, tidak ada lalatnya.”
Said bercerita, tak banyak tetangga yang tahu kalau Sudarno punya cairan ajaib penghilang bau. Namun, para tetangga tak keberatan ketika Sudarno mengubek-ubek sampah mereka dan menyemprot di sana-sini. Warga umumnya tak peduli dengan sampah.

Sekarang MBS sedang dalam proses paten. Begitu manjurnya MBS, beberapa perusahaan sampai memesan cairan itu dalam jumlah besar.
Pada saat yang sama Sudarno juga bereksperimen membuat Tongnopos. Dia kerap meminta hingga berkarung-karung sampah organik milik para tetangga untuk dijadikan pupuk cair yang diolah dalam tongnopos. Logika yang dipakai Sudarno sederhana, “Air sampah organik itu bukan racun karena kebanyakan sayur-sayuran yang biasa kita makan.”
Air yang keluar dari Tongnopos bisa disiram pada tanaman. Fung-sinya menyuburkan tanaman. Sekarang MBS sedang dalam proses paten. Begitu manjurnya MBS, beberapa perusahaan sampai memesan cairan itu dalam jumlah besar.
Sembari terus bereksperimen mengolah sampah, Sudarno juga mewariskan pengetahuan itu kepada masyarakat. Dia kerap di undang ke berbagai tempat untuk mengajarkan cara pembuatan Batem. Baginya, apa yang di lakukan itu hanya “secuil kuku” untuk sebuah upaya raksasa memberantas sampah di negeri ini. Semoga saja pemerintah mau serius mengurus sampah menjadi benda yang bermafaat.

Teknologi Pemupukan

Ketika Lahan Mulai Tandus
Teknologi Pemupukan

Lampu kuning ketahanan pangan di negeri ini mulai menyala. Tanda itu terlihat pada tanah pertanian yang mengering hingga tandus dan mulai banyak ditinggalkan petani.

Oleh Yuni Ikawati
Itu belum termasuk ancaman lain, seperti gagal panen karena hama dan anomali cuaca serta aspek non-teknis yang melemahkan daya saing petani.
Terpuruknya sektor pertanian sebagai lumbung pangan ratusan penduduk berarti pula mengancam ekonomi dan kedaulatan negeri yang berslogan “Gemah ripah loh jinawi” ini. Lalu, adakah cara membenahinya ?
Bicara pangan pokok, perhatian kita umumnya masih mengarah kepada padi atau beras. Itulah yang membuat Indonesia menggenjot produksi padi hingga dapat berswasembada beras pada tahun 1984.
Langkah Indonesia dan negara Asia lainnya dalam mengembangkan teknologi persawahan modern populer dengan sebutan Revolusi Hijau. Revolusi ini pada abad lalu berhasil menyelamatkan bangsa di Asia, termasuk Indonesia, dari bencana kurang pangan dalam hal ini beras.
Ada tiga faktor kunci dalam melaksanakan revolusi itu, yaitu varietas padi unggul, irigasi, dan pupuk. Teknologi pembuatan pupuk difokuskan pada nitrogen (N) sebagai unsur hara penting bagi kehidupan tanaman, yamg mulai diproduksi tahun 1913.
Ironisnya, Indonesia kini kembali di ambang krisis beras dan mulai bergantung pada beras impor yang kini ketersediaannya di pasar dunia terus berkurang. Kondisi ini jelas mengancam Indonesia yang jumlah penduduknya terus membengkak dan belum mampu mengurangi ketergantungan dari produk pertanian tersebut.
Lalu, para pakar teknologi pertanian kembali menilik teknologi yang diterapkan selama Revolusi Hijau. Adakah yang salah? Menurut para pakar petanian, termasuk Widjang Herry Sisworo, pakar ilmu tanah dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), teknologi yang di alihkan negara maju ke negara berkambang itu kurang sesuai karena bersifat boros energi dan menguras sumber daya alam.
“Introduksi varietas baru padi hanya berhasil jika didukung penggunaan pupuk yang tinggi,” ujarnya. Kondisi ini memberatkan petani karena harga pupuk amonia yang dihasilkan dari industri petrokimia melonjak, sejalan dengan kenaikan harga minyak bumi. Sementara itu, produksi padi mengalami pelandaian sejak awal tahun 1990-an, yang naik hanya 0,2 persen hingga tahun 2004.
Tanah sawah beririgasi selama tiga dekade lebih terus dipacu untuk berproduksi tinggi melalui pemberian pupuk buatan, terutama N, dengan takaran yang terus meningkat. Laporan riset KG Cassman dan PL Pingali pada tahun 1995 bahkan mengungkapkan penggunaan pupuk N di sawah irigasi teknis telah melampaui batas.
Karena itu. Menurut mereka, harus dilakukan efisiensi penggunaan pupuk buatan sebab bahan baku produksinya terbatas dan mahal. Produksi pupuk buatan mengharuskan pembakaran 500 juta ton batu bara per tahaun. Artinya, akan teremisi gas karbon dan nitrogen oksida serta polusi nitrat dalam air tanah.


Azolla penambat Nitrogen (N)
Intensifikasi pertanian, karena itu, harus di arahkan untuk penyediaan N alamiah yang murah dan hemat enegi. Proses alamiah yang di maksud adalah fiksasi atau penambahan N ke dalam tanah secara biologis, yang secara global bisa mencapai sekitar 170 juta ton per tahun. Jumlah ini kira – kira tiga kali jumlah pupuk N yang digunakan di lahan pertanian.
Penambatan N dari udara pada tanah secara alamiah dihasilkan oleh tanaman paku air, yaitu Azolla. Hingga kini diketahui ada enam spesies Azolla yang tersebar di dunia, antara lain Azolla pinata dan Azolla caroliniana. Tumbuhan yang berasosiasi simbiotik dengan ganggang hijau biru (Anabaena azollae), misalnya, mampu menimbun 25 kg -30 kg N per hektar dalam 30 hari.
Penelitian yang dilakukan enam negara, yaitu Brazil, China, Indonesia, Filipina, Sri Lanka, dan Thailand, menunjukkan Azolla mampu menyediakan N bagi padi sama baiknya dengan urea. Azolla juga dapat menurunkan kemasaman tanah. Di Sri Lanka, Azolla di persawahan dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan pupuk hingga 56 persen dan meningkatkan hasil padi 35 persen di Thailand.

Fungsi bahan organik
Intensifikasi padi selama ini disertai pemberian bahan organik yang sangat minim. “Keadaan ini mengakibatkan tanah menjadi ‘sakit’ dan ‘lapar’ ,” kata Widjang yang juga menunjuk dominasi nitrogen dalam tanah.
Padahal, bahan organik diperlukan sebagai sumber karbon yang merupakan “pakan” dan energi bagi metabolisme dan perkembangbiakan jasad renik penghuni tanah. “Karen itu, dapat dikatakan pupuk buatan adalah pakan bagi tanaman, sedangkan bahan organik makanan untuk tanah,” ujar Widjang, yang meraih doktor ilmu tanah di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Berdasarkan pemahaman itu, Widjang berpendapat, intensifikasi harus dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber hara secara optimal. Peningkatan unsur N saja tidak akan menghasilkan produktivitas yang tinggi tanpa diikuti penggunaan fosfor (P), kalium (K), belerang (S), dan sing (Zn) dalam kadar yang memadai.
Pengoptimalan sumber hara juga dapat dikembangkan di lahan kering atau terdegradasi kesuburannya. Tanah itu kadar nitrogen dan airnya tak memadai bagi kehidupan tanaman.
Widjang yang dikukuhkan sebagai profesor riset bidang pertanian di Batan, April 2006, mengemukakan, penambatan N biologis juga dapat mengoreksi minimnya kadar bahan organik sehingga dapat memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan kemampuan tanah “memegang” air. Selain itu, bertambahnya kandungan bahan organik tanah juga meningkatkan aktivitas biologis jasad renik, proses pendauran, dan transformaasi unsur hara dalam tanah.
Sebaliknya, rendahnya kandungan bahan organik membuat struktur tanah buruk sehingga tanah mudah tergenang air, peka terhadap erosi dan kekeringan. Pengembangan lahan kering menjadi lahan pertanian yang produktif juga memerlukan reduksi keasaman tanah yang menyebabkan terjadinya keracunan aluminium dan mangan.

Gerakan pengomposan
Menurut Prasetyo Sunaryo, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, unsur hara terus berkurang karena terbawa tanaman yang dipanen hingga membuat tanah tandus.
Ia melihat daur unsur hara terputus. “Sampah organik sebagai hasil sisa pemanfaatan produk pertanian yang berasal dari desa ditumpuk di tempat pembuangan sampah di perkotaan. Harusnya dikembalikan desa, menjadi pupuk kompos. Karena sampah organik adalah sumber hara bagi tanaman.
Pemberian pupuk buatan membuat tanah mengeras. Sebaliknya, dengan pupuk kompos dapat mengembalikan kegemburan tanah. Karena itu, perlu digalang gerakan pengomposan sampah untuk memperbaiki lahan tandus sekaligus mengatasi kelangkaan pupuk di pedesaan dan mengurangi subsidi pupuk buatan yang masih diimpor.
Membuat Peternakan Cacing Sendiri

Di jaman yang serba sulit ini, kita harus lebih jeli melihat peluang yang ada di depan mata. Pekerjaan yang "agak kotor" sedikit (atau dirty job dalam bahasa inggris) bukan lagi halangan untuk menggarapnya menjadi ladang usaha yang menjanjikan. Sebenarnya jenis pekerjaan yang dimaksud cukup banyak. Namun, dalam kesempatan ini yang berkesempatan untuk dikupas lebih dalam adalah seputar beternak cacing tanah (Lubricus rubellus).

Hasil yang Dapat Diharapkan
Dalam melakukan usaha ternak cacing ini, setidaknya ada tiga hal yang dapat diharapkan sebagai hasil kerjanya, yaitu:
*1. Cacing itu sendiri, yang saat ini cukup banyak sekali pemanfaatannya, seperti untuk obat, kosmetik, serta bibit untuk produksi cacing selanjutnya.
*2. Tanah bekas tempat hidup cacing yang dapat digunakan sebagai media tanam yang sangat subur.
*3. Pupuk cair yang merupakan cairan pembuangan cacing yang sangat bermanfaat untuk kesuburan tanaman.
Pemanfaatan cacing tanah untuk pembuatan pakan ikan alternatif.
Semua hasil produksi tersebut dapat Anda jual maupun gunakan untuk kepentingan sendiri sebagai penunjang kegiatan produksi selanjutnya.
Peralatan dan Perlengkapan yang Dibutuhkan
Langkah pemeliharaan cacing
Untuk menunjang kegiatan produksi cacing tanah, dibutuhkan beberapa perlengkapan dan peralatan yang mudah diperoleh pada lingkungan sekitar kita dan banyak dijual di toko peralatan pada umumnya. Peralatan dan perlengkapan itu antara lain :
1. Kotak untuk memelihara cacing, dapat memakai papan kayu atau bahan dari plastik maupun dari kaca. Jangan lupa untuk melubangi bagian bawah kotak sehingga dapat menampung ‘pupuk cair’ yang keluar.
2. Kompos sebagai media hidup cacing yang akan dibudidayakan.
3. Sampah sisa makanan atau sampah organik lainnya.
4. Ember dengan penutup.
5. Penutup kotak cacing yang dapat dibuat dari kayu dan kawat jaring.
6. Minyak atau oli untuk menghalau serangga yang tidak diinginkan, misalnya: semut, kecoa, dll.
7. Sarung tangan karet.
8. Bibit cacing tanah.
Setelah peralatan dan perlengkapan sudah disiapkan, proses untuk melakukan pembudidayaan dapat dimulai.
Ada lima tahapan utama untuk membudidayakan cacing tanah,
yaitu :
1. Masukkan kompos setinggi 15cm ke dalam kotak pemeliharaan secara merata.
2. Potong kecil-kecil sisa-sisa makanan atau sampah organik untuk kemudian dimasukkan ke dalam kotak pemeliharaan.
3. Tambahkan sedikit air ke dalam media hingga cukup basah dan gembur.
4. Aduk semuanya hingga tercampur merata. Anda dapat menggunakan sarung tangan yang telah disiapkan jika merasa jijik.
5. Perlahan masukkan bibit cacing tanah ke dalam kotak pemeliharaan.

Lokasi yang terlindung dari hujan dan sinar matahari yang berlebihan.

Cara untuk mengetahui apakah cacing merasa nyaman di tempat hidupnya
Anda dapat memperhatikan perilaku cacing-cacing tersebut untuk mengetahui tingkat kenyamanan kotak pemeliharaan. Jika cacing masuk ke dalam media, maka mereka cukup merasa nyaman dengan kotak pemeliharaan. Sebaliknya, jika cacing-cacing tersebut mencoba naik ke permukaan, itu tandanya kotak pemeliharaan kurang nyaman untuk mereka. Ketidaknyamanan cacing pada kotak pemeliharaan bisa dikarenakan kurangnya kelembaban, kurangnya ventilasi, atau ada zat pencemar yang tidak disukai cacing, seperti zat kimia tertentu dalam media.

Langkah-langkah untuk Pembudidayaan
Desain kotak pemeliharaan cacing
Cara memberi makan cacing
* Potong kecil-kecil makanannya (ingat­lah bahan-bahan yang dilarang)
* Simpan dalam ember tertutup selama 2-3 hari agar terfermentasi
* Buatlah lubang pada media dan masukkan makanan dari ember tadi
* Tutup lagi dengan media perlahan-lahan (hindari alat yang tajam)

Cara menjaga kelembaban kotak pemeliharaan
Tambahkan kompos dan aduk-aduk, jaga jangan sampai media menjadi padat. Jika terlihat kering tambahkan makan­an yang banyak mengandung air.



Hal-hal Lain yang Perlu Diketahui dalam Budidaya Cacing Tanah
Cacing sangat bagus dalam memanfaatkan sisa makanan untuk diubah menjadi pupuk yang disebut “KASCING” & “Pupuk Cair” yang sangat bermanfaat untuk kebun anda. Tapi ingat: cacing adalah makhluk hidup yang memerlukan perhatian yang cukup dalam peme­liharaannya. Pastikan mereka tidak diberi makanan yang dapat membuat mereka sakit.

Jangan memasukkan benda-benda berikut ini dalam kotak pemeliharaan:
-Ampas kopi atau teh
-Minyak atau yang berminyak
-Bahan yang mengeluarkan bau keras
-Sabun atau bahan kimiaTulang atau daging
-Buah yang masam (jeruk)
-Garam atau gula

Berapa banyakkah cacing makan?
Kurang lebih sama dengan berat cacingnya. 1 kg cacing butuh 1 kg makanan. Beri makan paling tiga hari sekali.

Hewan-hewan yang harus dijauhkan dari lokasi pemeliharaan
-Tikus
-Semut
-Ayam
-Bebek
-Kadal
-Katak
Sekian dulu pembahasan mengenai budidaya cacing tanah. Semoga dapat diterapkan dan memberi manfaat bagi kita.

Minggu, 29 November 2009

Pembuatan Pelet Ikan dari Cacing Tanah

Pembuatan Pakan Ikan Alternatif dari Cacing Tanah
(Lubricus Rubellus)

Cacing tanah merupakan hewan yang berpotensi menjadi bahan makanan. sumber protein tinggi. Budidaya cacing tanah relatif mudah, efisien dan murah, dimana untuk membudidayakan cacing ini hanya dibutuhkan suatu media berupa kompos (dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk menguraikan sampah organik).
Kotak untuk pemeliharaan cacing
Sisa dan media ini selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pupuk tanaman, karena penguraian sampah organik oleh cacing tanah banyak menghasilkan unsur hara yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Berkaitan dengan potensi cacing tanah sebagai bahan makanan sumber protein tinggi, pemanfaatannya sangat beragam seperti:
a. Untuk bahan campuran kosmetika.
b. Sebagai makanan suplemen kesehatan.
c. Bahan obat-obatan terutama yang menyangkut dengan antibiotik.
d. Sebagai pakan ternak.
Komposisi nutrisi Lumbricus rubelius adalah sebagai berikut:
*Protein Kasar : 60 - 72%
*Lemak : 7 - 10%
*Abu : 8 - 10%
*Energi :900 - 4100 kalori/gram.
Dengan memperhatikan komposisi nutrisinya, maka di dunia perikanan,cacing tanah ini berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan ransum makanan ikan

Cacing segar siap untuk dipanen
Seperti diketahui bahwa untuk pertumbuhan ikan, sangat ditentukan oleh kandungan protein dalam makanannya. Mengingat kandungan protein cacing yang cukup tinggi (lebih tinggi dari ikan dan daging) serta komposisi asam amino esensial yang lengkap sehingga, dapat diperkirakan bila cacing tanah ini dapat dimakan oleh ikan akan dapat memacu pertumbuhan dan menghasilkan ikan yang sehat serta tahan terhadap serangan penyakit


ALAT, BAHAN, DAN METODE
Peralatan yang digunakan adalah:
*Alat Penggiling Tepung
*Alat Penggiling Daging
*Baskom

Bahan:
a. Tepung Cacing : 41%
b. Telur ayam : 20%
c. Terigu : 14%
d. Dedak : 18 %
e. Kanji :1%
Untuk membuat tepung cacing, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Cacing segar dipisahkan dari medianya.
2. Cacing segar ini di cuci/bilas dengan air bersih, lalu ditimbang.
3. Cacing segar dijemur oleh panas matahari di atas seng dalam 24 jam (suhu udara 32 - 35 derajat celcius).
4. Cacing yang sudah kering kemudian dibuat menjadi tepung dengan menggunakan penggiling tepung.
5. Tepung cacing ditimbang dan siap untuk digunakan.

Untuk menjadikan pelet, bahan-bahan yang dipersiapkan adalah kuning telur ayam yang telah direbus, tepung kanji, terigu, dedak, tepung cacing, masing-masing ditimbang sesuai dengan analisis bahan.
Langkah-langkah pembuatan pelet ikan sebagai berikut :
*Semua bahan dicampur dan diaduk menjadi satu.
*Tambahkan air hangat secukupnya hingga adonan menjadi cukup kenyal. Penggunaan air harap diperhatikan seminim mungkin penggunaannya.
*Setelah adonan terbentuk selanjutnya dicetak dengan mesin penggiling daging sehingga menghasilkan pelet basah yang panjangnya seperti mie.
*Pelet basah tersebut dipotong per 0,5 cm membentuk butiran- butiran.
*Setelah itu pelet dijemur di panas matahari seharian.
*Kemudian pelet ditimbang dan siap digunakan
Untuk memperoleh pelet dengan kandungan protein 35%, maka susunan ransumnya adalah:

% Berat
*Tepung Cacing 47%
*Telur Ayam 20%
*Terigu 14%
*Dedak 18%
*Kanji 1%
(RAD)Sumber: Dinas Perikanan Propinsi DKI Jakarta, Brosur Informasi Proyek Peningkatan Diversifikasi Usaha Perikanan

Memadukan Bisnis dan Penghijauan

Memadukan Bisnis dan Penghijauan

Awalnya, I Wayan Mertha tidak berpikir muluk-muluk saat menanam berbagai jenis bibit pohon di antara tanaman kakaonya di Desa Balinggi, Kecamatan Sausau, Kabupaten Parigi Moutong, sekitar 120 kilometer arah timur Palu, pada tahun 2000.

Oleh : Reny Sri Ayu Taslim
Tanaman kakao harus dilindungi dengan tanamn lebih besar dan rimbun demi mendapatkan buah-buah yang bagus,’ cerita Wayan Mertha mengenai pemikiran sederhananya waktu itu.
Selain itu, ia juga berharap, tanaman pelindung tersebut suatu saat bisa dipanen dan menghasilkan uang. Di sisi lain, untuk lingkungan sekitarnya, tanaman pelindung juga dapat berfungsi menguatkan tanah dan menyerap air.
Maka, Wayan Mertha pun menanam berbagai jenis tanaman berakar kuat, berdaun rimbun, dan berbatang beasr di antara tanaman kakao. Bibitnya dia pungut di hutan sekitar kebunnya. Pembibitan dia lakukan sendiri hiungga menjadi anakan pohon siap tanam.
“ Saat itu, banyak yang mencemooh dan menertawakan apa yang saya lakukan. Kata mereka, ngapain tanam pohon, enggak ada untungnya, enggak bisa jadi uang. Lagi pula, orang-orang pada menebang pohon, saya malah menanam pohon,” tutur Wayan Mertha.
Dicemooh, dia bergeming. Dengan tekun, ia terus menanam bibit pohon, seperti meranti, palupi, nantu, dan durian. Khusus pohon durian, Wayan tidak menanam untuk mengambil buahnya, tetapi lebih memanfaatkan batang kayunya.
Suami Ni Wayan Aryani ini tak peduli bahwa penanaman pohon itu mengakibatkan tanaman kakao miliknya jadi tak sebanyak di kebun orang lain yang memenuhi kebunnya hanya dengan tanaman kakao. Namun, kebun sekaligus hutan kecil Wayan Mertha itu terus bertambah sedikit demi sedikit karena ia membeli lahan terbengkalai di sekitar kebunnnya. Luas kebunnya pun mencapai 17 hektar.
Ketekuna Wayan kemudian mulai membuka mata warga sekitarnya, terutama pera pemilik kebun. Sebab, pohon kakao di kebun Wayan ternyata tumbuh lebih subur dan berbuah lebih bagus dibandingkan kakao di kebun milik petani lainnya. Selain itu, tanah di kebunnya juga menjadi lebih subur. Sumber airnya pun tak pernah kering pada musim kemarau sekalipun.
“Warga lain lalu mulai ikut menanam pohon diantara tanaman kakaonya, atau menebang tanaman kakao yang sudah tua dan menggantinya dengan tanaman pohon. Bibitnya mereka ambil gratis dari saya. Memang, hampir sepanjang waktu saya terus malakukan pembibitan dan memberikan kepada siapa saja yang mau,” katanya.

Industri Kayu
Mata warga sekitar betul-betul terbuka, bahkan tidak sedikit yang terenyak ketika, Agustus lalu, Wayan Mertha memanen tanaman pohon yang sudah berumur dari lahan sekitar satu hektar. Kayu dari hutan miliknya itu dijual dengan harga “lumayan”. Bahkan, ia bisa membuat industri kayu kecil-kecilan untuk mengolah kayu dari hutannya tersebut.
“Tetapi, saya tidak memanen pohon dengan begitu saja. Jauh sebelum saya panen, saya sudah menanam anakan pohon disejumlah luas areal, atau batang yang saya panen. Jadi, lahannya tidak akan kosong. Lagi pula, pola penanamannya saya atur juga agar panen tidak serentak, melainkan bergiliran sesuai usia pohon dan besarnya anakan yang ditanam,” ceritanya.
Wayan Mertha sejauh ini sudah terbilang berhasil memadukan bisnis dan penghijauan, dengan mengawinkan kebun dan hutan. Dari sisi penghijauan, lahan kosong yang semula terlantar kini sudah penuh tanaman dan menjelma menjadi hutan.
Dari sisi bisnis, kayu yang ditanamnya pun menghasilkan uang. Bahkan seperti virus, apa yang dilakukan Wayan Mertha mulai menjalar kepada para pemilik kebun lainnya. Di sekitar kebunnya saja sudah ada 50-an petani yang mengikuti jejaknya.
Mukramin, Kepala Dinas Kehutanan Pargi Moutong, bahkan mengakui, konsep bisnis dan penghijauan yang dilakukan Wayan Mertha dijadikan percontohan oleh dinas kehutanan untuk disosialisasikan kepada para pemilik kebun yang lain.
“Masyarakat sudah mulai mengikuti apa yang dilakukan Wayan. Dampaknya, selain menjaga kesuburan tanah dan terpeliharanya sumber air, warga juga sedikit demi sedikit mulai sadar agar tidak menebang hutan sembarangan. Mereka sadar pada pentingnya fungsi tanaman pelindung, sekaligus melihat tanaman pelindung sebagao investasi jangka panjang,” tutur Mukramin.

Manja dan seenak hati
Wayan Mertha adalah lelaki sederhana yang hanya tamat sekolah dasar. Sebagai anak tunggal diakuinya membuat dia menjadi manja dan berlaku seenak hati, termasuk tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Masa muda lebih banyak dia habiskan dengan bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Keinginannya merantau keluar dari Bali, kendati pada awalnya ditentang orangtuanya, membawa Wayan ke Parigi Moutong pada tahun 1976. Saat ini ia sekadar mengikuti beberapa temannya yang sudah terlebih dahulu pergi ke Parigi.
Tanpa bekal keterampilan dan pendidikan mamadai, Wayan Mertha bertahan hidup dengan menjadi kenek. Hidup jauh dari orangtua dan sanak keluarga membuat dia sadar harus menata sendiri kehidupannya, dan tidak bergantung kepada orang lain. Terlebih saat ini ia memutuskan menikahi NI Wayan Aryani pada 1982.
Pendapatan jadi kenek dan buruh kasar sebagian dia tabung, dan digunakan untuk membeli sebidang sawah. Penghasilan dari sawah itu dia kumpulkan pula guna membuka usaha warung kecil-kecilan.
Seiring berjalannnya waktu, Wayan Mertha lalu membeli lahan kebun untuk bertanam kakao, Lahan yang semula Cuma sepetak terus bertambah. Dia kemudian mulai menanam pohon pada tahun 2000.
Pengetahuannya mengenai penanaman pohon, antara lain, diperoleh saat masih tinggal di Bali. Wayan bercerita, tempat tinggalnya di Bali berada di tepi hutan sehingga dia mengenal jenis-jenis pohon, termasuk bagaimana pemeliharaannya.
Belakangan, Wayan Mertha juga melakukan berbagai eksperimen menanam pohon dengan menggunakan batang pohon, bukan bibit.
Kalau semula menanam pohon sekadar melindungi tanaman kakaonya, kini Wayan Mertha terobsesi menghijaukan lahan gersang. Setidaknya hal ini sudah dia mulai dengan membeli 17 hektar lahan kosong di Kayumalue, Palu. Lahan ini akan dia tanami berbagai jenis pohon. Penanaman dilakukan pada November ini, bersamaan dengan datangnya musin hujan. “Menanam pohon itu mudah, yang penting bibitnya bagus, anakan yang ditanam sudah cukup umur, dan waktu penanamannya tepat. Kalau akarnya sudah cukup kuat, dibiarkan saja juga tidak jadi soal karena pohon akan tumbuh alami. Setelah itu kita tinggal menikmati hasilnya, baik dampaknya pada lingkungan, maupun sebgai tambahan penghasilan,” tutur Wayan Mertha bersemangat.

Ekstrak Tanaman Untuk Atasi Hama

Arinafril, Ekstrak Tanaman untuk Atasi Hama


Dalam pandangan Arinafil (42), yang selama bertahun-tahun meng-geluti penelitian tentang hama tanaman dan lingkungan di Indonesia, sejumlah hama tanaman sesungguhnya dapat diberantas dengan me-manfaatkan tanaman yang terdapat di Tanah Air.

Oleh : BM Lukita Grahadyarini

Menurut Arinafil, Indonesia punya kekayaan keragaman hayati yang luar biasa. Jika digunakan secara optimal, hal itu akan memberikan lebih banyak manfaat bagi manusia dan lingkungan.
Ia menelusuri, dari 37.000 spesies flora Indonesia yang telah diidentifikasi, baru sekitar satu persen yang dimanfaatkan untuk biopesti-sida. Berlandaskan hal itu, pria yang menjadi pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri), Sumatera Selatan, ini giat menggali kegunaan tana-man bagi pemberantasan hama.
Sejak 1997 Arinafil membuat ekstrak tanaman untuk biopestisida. Biopestisida yang dia ciptakan memiliki kegunaan mematikan, menghalau, serta menghambat perkembanagan ulat dan serangga yang menjadi hama pada tanaman dan tempat penyimpanan makanan. Selain itu, juga meng-hambat penetasan telur pada keong mas yang kerap menjadi hama padi.
Sebagian tanaman yang diolah menjadi biopestisida merupakan tanaman yang banyak ditemukan dan dipelihara masyarakat. Dalam proyek-proyek penelitian, ia kerap melibatkan para mahasiswa.
Tahun 1997 itu pula ia membuktikan khasiat ekstrak jahe dan temu putih untuk menghambat serangan ulat kubis (Plutella xylostella Linn). Daun kubis yang diberi ekstrak itu akan menjadi toksin atau racun yang mematikan ulat.
Ia juga membuat ekstrak tanaman dari temu putih, biji nimba, daun kenanga, biji selasih, serta daun avokat yang masing-masing berfungsi mencegah serangan kutu pada tempat penyimpanan beras dan kacang-kacangan. Beberpa jenis kacang-kacangan, seperti kacang hijau, kedelai, kacang merah, dan kacang tanah, yang dilumuri ekstrak tersebut akan awet disimpan sampai enam bulan.
Khasiat serupa ditemukan pada tanaman bawang putih, bunga kemuning, kulit jeruk, lengkuas, kunyit, temu hitam, cabai merah, tembakau, dan kulit duku. Cairan ekstrak bunga kemuning bahkan efektif mematikan kumbang kacang hanya dengan kadar 1,12 persen.
Beberap ekstrak yang dihasilkan juga memiliki kegunaan lebih. Ekstrak bunga kenanga, lengkuas, jahe, kunyit, umbi bawang putih, dan daun nimba tidak menghambat perkecambahan benih kacang hijau sehing-ga aman untuk ditanam meskipun disimpan dalam waktu lama.
Pembuatan ekstrak tanaman dilakukan secara sederhana, meliputi metode tepung, rendam, pasta, dan campuran air. Pada ekstraksi jahe yang menggunakan metode tepung, rimpang jahe dibersihkan, dikupas, dan di-haluskan menjadi tepung. Kemudian, serbuk jahe dicampur dengan beras atau kacang-kacangan guna mempertahankan masa penyimpanan makanan tersebut.
Jahe juga bisa diolah melalui metode pasta. Jahe yang sudah dihaluskan dicampur air agar membentuk adonan, lalu dimasukkan ke kantong dan diperas. Ke dalam cairan perasan dicelupkan beras dan kacang-kacangan.
Pada tahun 1998 ia membuktikan, campuran ekstrak serai wangi, biji nimba, dan lengkuas yang disemprotkan pada belalang kembara (Locusta migratoria) muda akan mematikan hama itu hanya dalam waktu sekitar 30 menit. Cairan ekstrak dari tiga tanaman tersebut meracuni jaringan sel serangga yang ganas menyerang hamparan padi dan perkebunan di Nusa Tenggara Timur pada kurun 1998 – 2007.
Tahun 1999 ia kembali membuat cairan ekstrak biji nimba yang memiliki daya untuk mematikan 70 persen telur keong mas yang banyak terdapat di daun padi dan tunggul-tunggul sawah. Ekstrak yang disemprot ke kumpulan telur keong mas merusak sel-sel telur dan memutus per-kembangbiakkan hewan yang kerap merusak tanaman padi itu.
Pada tahun 2001 ia diminta membantu pencegahan hama kutu daun pada tanaman kacang pea, sejenis kacang kapri yang tumbuh di Jerman. Untuk keperluan itu, ia memanfaatkan cairan ekstrak lengkuas.
“Ekstrak lengkuas bersiaft sistemik, diserap akar tanaman, dan dibawa ke jaringan daun. Ekstrak racun yang terkandung dalam daun akan mencegah serangan kutu daun,” papar Arinafril.
Di atas semua penelitian itu, pria yang menjabat Ketua Laboratorium Toksikologi Pestisida Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Unsri ini memiliki Obsesi menularkan teknologi sederhana pembuatan ekstrak tanaman kepada para petani di Indonesia.

Murah dan aman
Ia berharap teknologi ekstraksi tanaman dapat ditiru petani. Ini untuk mengurangi ketergantungan petani pada pestisida sintetis yang harganya lebih mahal dan berpotensi meninggalkan sisa racun (residu) pada tanaman pangan sehingga membahayakan tanaman dan kesehatan konsumen. Namun, itu pun masih menjadi kendala karena kurangnya sarana penyebaran informasi kepada petani.
Biopestisida yang terbuat dari bahan-bahan alam tidak meracuni tanaman dan mencemari lingkungan. Pemakaian ekstrak bahan alami secara terus-menerus juga diyakini tak menimbulkan resisten pada hama, seperti yang biasa terjadi pada pestisida sintetis.
“Jangan dulu membeli obat-obatan atau pestisida selagi masih bisa membuat biopestisida dengan memanfaatkan bahan baku dari alam,” kata Arinafril.
Pria ini berpandangan, masih banyak tanaman Indonesia yang berpeluang besar untuk dimanfaatkan sebagai obat pemberantas hama. “Tanaman yang semasa tumbuhnya tidak diserang hama berpotensi me-miliki kandungan senyawa yang memberi efek racun pada hama. Jika potensi itu digali, banyak tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk mengusir hama pada tanaman lain,” kata ayah tiga anak ini.
Beberapa penelitiannya di luar negeri terkait dengan pemberantasan hama telah teruji. Tahun 1993-1994 ia menggunakan ekstrak biji tanaman nimba untuk mengendalikan belalang gurun (Schiftocerca gregaria) yang banyak hidup di Afrika. Beberapa negara yang pernah di singgahinya untuk penelitian antara lain Jerman dan Australia.
September 2007 ini, Arinafril diminta melakukan penelitian di Clemson University, Amerika Serikat, untuk mengatasi hama ulat tentara pada tanaman kacang kedelai. Berkaitan dengan penelitian itu, ia berencana menggunakan ekstrak tanaman jahe-jahean.
Bagi Arinafril, penelitian selayaknya dilakukan secara kontinu agar hasilnya bisa dikembangkan optimal. Sayangnya, penelitian di Indonesia kerap terbentur dana akibat minimnya perhatian dan dukungan pemerintah. “Keterbatasan dana menyebabkan peneliti terpaksa mengakhiri suatu penelitian setelah proyek penelitian itu usai sehingga kontinuitasnya kurang. Hasil penelitian pun tak bisa dikembangkan maksimal,” ungkapnya

Semua Karena Jasa Cacing

*Semua Karena Jasa cacing

Ignatius Sumarwoko tak berharap banyak ketika menanam padi. Ia menyadari kondisi tanahnya, di Desa Donokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyajarta, amat tandus, miskin hara, dan kering. Oleh karena itu menanam padi di desanya hanya usaha sampingan. Namun, ia mampu memanen 2,6 ton gabah kering dari lahan 8.000 m2.
Angka itu memang jauh di bawah produktivitas rata-rata padi organik di lahan subur yang berkisar 7 – 8 ton /ha. Namun, bagi Igantius Sumarwoko biasa dipanggil Woko hasil itu menggembirakan. Pasalnya, tanah yang ditanaminya itu miskin hara akibat ditanami tebu dan penggunaan pupuk kimia terus-menerus selama 20 tahun. Saat petani lainnya puso pada Juni 2006, ia malah memetik 8 kuintal gabah kering dari lahan 6.000 m2.
Dengan harga jual beras organik Rp. 7.500,- per kg, pria kelahiran 18 Oktober 1959 itu menangguk pendapatan Rp. 15 juta. “Rendemennya cukup tinggi, dari 2,6 ton gabah menjadi 2 ton beras,” tutur Sumarwoko. Bulir padi berukuran padat, bernas dan lebih besar. Padahal, biasanya dari volume yang sama ia hanya memperoleh 650 kg beras. Produksi dan rendemen padi itu meningkat setelah Sumarwoko menggunakan Kascing alias Kotoran cacing.
Untuk lahan 8.000 m2, ia menambahkan 1,2 ton Kascing setelah pengolahan tanah dan sebelum penanaman. Dengan harga kascing Rp. 15.000 per 20 kg, ia memang menggelontorkan dana Rp. 900.000. bandingkan ketika ia belum menggunakan kascing, Woko menghabiskan 6 kuintal pupuk kimia senilai Rp. 600.000. Setelah memanfaatkan vermikompos alias kascing biaya produksi memang lebih besar, tetapi laba bersih yang ditangguk kian besar.
Ia memanfaatkan kascing pertama kali pada November 2005 untuk mengembalikan kesuburan tanah yang miskin hara. “Saya tak mengharapkan hasil tinggi. Yang penting tanah subur dulu,” kata Woko. Ia kaget produksi padi meningkat 1,5 kali lipat. Sejak itulah ia rutin memanfaatkan kascing untuk budidaya padi organik. Produksi komoditas lain seperti ubijalar dan jagung yang dibudidayakan dengan kascingpun hasilnya melonjak.

Meningkat
Lain lagi pengalaman Ata, pekebun di Cilubang Tonggoh, Kabupaten Bogor, jawa Barat. Penanaman ubijalar dan jagung yang menggunakan kascing hasilnya melambung tinggi. “Ukuran umbi-umbijalar lebih besar, hingga 2 kali lipat,” tutur Ata. Padahal semula Ata ragu saat ditawari kascing. Saat itu ia menganggap harga beli kascing Rp. 17.500 per 20 kg terlalu mahal. Lagi pula ia tak yakin produksi tanaman maksimal. Setelah produsen kascing siap menanggung kerugian, ia membagi dua lahannya masing-masing seluas 600 m2.
Pupuk untuk masing-masing lahan itu berbeda. Di lahan A sebut saja begitu, ia menebar 200 kg kascing; lahan B, pupuk kimia. Tanah langsung ditanami bibit ubi jalar Ipomoea batatas dan disirami hingga basah.
Pada bulan pertama, pertumbuhan tanaman di lahan B lebih pesat ketimbang ubijalar yang dipupuk kascing. Namun pada bulan ke-2, tanaman yang dipupuk kascing tumbuh pesat. Yang meng-gembirakan bobot ubijalar di lahan A mencapai 1,6 kg per tanaman atau total 1,2 ton; lahan B, tak lebih dari 1 kg per tanaman atau 7 kuintal.
Penggunaan kascing pada budidaya jagung juga meningkatkan produksi hingga 40%. “Selain ukuran tongkol lebih besar, rasanya lebih manis,” kata pria 59 tahun itu. Bagaimana duduk perkara produksi melonjak setelah tanaman diberi Kascing ? Menurut ahli budidaya tanaman Ir Yos Sutiyoso, tingkat kepadatan bahan organik termasuk vermikompos sangat rendah. Sebagai gambaran, 1 m3 kascing setara 100 kg. Bandingkan dengan tanah yang mencapai 800 – 1.300 kg. Karena kepadatan rendah, tanah menjadi remah, dan kaya oksigen. Sumarwoko dan Ata sepakat tanah mereka menjadi lebih gembur setelah dipupuk kascing. Rongga-rongga pupuk kotoran cacing itu juga mampu menahan air 40 – 60%. Yos Sutiyoso mengilustrasikan: orang yang berlari di tanah lapang lebih mudah dan lebih cepat. Sebaliknya, jika berlari di area yang padat dan penuh rintangan lebih sulit dan lebih lambat. Orang yang berlari itu adalah akar, sementara area padat dan rintangan adalah tanah nonporous, sangat padat. Sebaliknya tanah remah yang diberi kascing ibarat area lapang.

Kaya Nutrisi
Dampaknya akar tanaman lebih leluasa mencari unsur hara. Di ujung akar terdapat rambut akar yang panjangnya 2 cm. Jika tanah padat dan di sekelilingnya miskin hara, rambut hanya mampu bertahan 2 hari. Sebaliknya, jika tanah remah dan kaya nutrisi, rambut akar bertahan hingga 2 pekan. Karena pasokan nutrisi memadai, per-tumbuhan pun cepat. Hasil akhir dari kondisi itu adalah pening-katan produksi.
Selain itu, kascing pun mengandung humus yang kaya asam humik, asam fultik, dan humin yang mampu menjaga kelembapan dan kegemburan tanah. Berdasarkan riset Norman Q seperti dinukil oleh European Journal of Soil Biology, mengungkapkan produksi lada yang diberi ekstrak asam humik dari vermikompos lebih banyak dibanding yang berasal dari asam humik komersial.
“Makin tinggi kadar asam humik, makin subur tanah itu,” ujar Dr Ir Mashur Ms, ahli tanah dan peneliti vermikompos di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Azotobacter sp, bakteri penambat nitrogen non-simbiosis yang mengandung vitamin dan asam pantotenat, membantu memperkaya nitrogen dalam vermikompos. Dengan segala kelebihan itu, vermikompos salah satu pilihan untuk menjaga tanah gembur, meningkatkan produksi tanaman, dan mendongkrak laba. Semua itu Karena Jasa Cacing.

Budidaya Belut Menapak Masa Depan

*Budidaya Belut Menapak Masa Depan

Koperasi Usaha Cipta Mandiri Yogyakarta mengadakan pelatihan budidaya belut (monopterus Albus) di Wisma Taman Eden, Kaliurang pada 12-13 Februari 2005. Pelatihan ini menghadirkan Pakar Belut Nasional Ir. RM. Sonson Sundoro.

Koperasi Usaha Cipta Mandiri yang dipimpin oleh Gunadi memang masih relatif muda, namun wawasan yang dikembangkan sangat luas dan menjangkau masa depan. Komitmen koperasi ini kepada rakyat kecil, petani dan peternak belut sangat tinggi, sehingga mereka mencari informasi selengkap mungkin untuk kemajuan dan kesejahteraan penangkap belut alam dan pembudidaya belut.

Pengamatan yang dilakukan koperasi usaha ini memang mencengangkan, karena dapat mengungkap kondisi pasar lokal DIY dan sekitarnya. Disamping itu kondisi belut alam sebagai sumber mata pencaharian beberapa keluarga dipedesaan telah mengalami banyak penurunan bahkan menghilang samasekali dimusim kemarau, sehingga memerlukan langkah-langkah konkrit agar penghasilan dan kesejahteraan mereka tidak menurun.

Pasar Godean, sebagai contoh memerlukan suplai belut segar seberat tujuh kuintal. Hasil pengamatan yang lain adalah home industri belut di DIY dan Jateng memerlukan sekitar 1-2 kuintal per industri. Kondisi ini sangat memberikan harapan bagi pembudidaya belut, karena pasar masih sangat terbuka. Kebutuhan-kebutuhan belut segar bagi pasar tradisional dan home industri ini saat ini disuplai dari Jawa Timur dengan kapasitas 50 kilogram per home industri.

Pelatihan budidaya belut ini dimaksudkan untuk membuka wawasan semua pihak yang menggantungkan hidupnya dari bisnis belut. Disamping itu, dengan pelatihan, diharapkan dapat memperdalam pengetahuan dan ketrampilan budidaya belut, sehingga mencapai taraf profesional, karena usaha belut ini dapat dijadikan profesi yang memiliki masa depan cerah.

Ir. RM. Sonson Sundoro sebagai nara sumber dan pakar belut nasional mengawali pelatihan teknis budidaya belut ini dengan memberikan gambaran kepada peserta tentang usaha belut. Kesempatan ini diawali dengan penulisan buku tentang budidaya belut yang mendasarkan pada uji coba selama kurang lebih dua puluh tahun yang dilakukannya dibantu orang tua seorang pakar perikanan.

Sonson mengungkap prospek budidaya belut cukup luas peluangnya, karena masyarakat dunia mulai mengenal manfaat mengkonsumsi belut. Peluang eksporpun terbuka sangat luas, pada tahun 1998 Jepang membutuhkan belut segar seberat lima ton, namun jumlah ini tidak pernah dapat dipenuhi, karena tumpuan ekspor ini masih dari hasil tangkapan belut alam yang dimusim kemarau sangat sulit didapat.

Disamping itu kualitas, terutama segi ukuran, tidak dapat dipertahankan, karena belut alam ini setiap hari ditangkap, sehingga tangkapannya semakin kecil dan bahkan dalam dua tahun stok sudah habis.

Pengalaman pahit ini memaksa untuk dilakukan perubahan basis ekspor yang semula belut alam menjadi belut budidaya, sehingga dari segi jumlah dan kualitas dapat dijaga. Pasar Asia Selatan dan Asia Tenggara mulai 2001 mulai nampak menunjukan kenaikan yang berarti. Hal ini terlihat dari permintaan mereka ke Indonesia untuk Hongkong sepuluh ton per hari per pengusaha importir padahal kemampuan baru mencapai tiga ton per hari. Permintaan lain datang dari Malaysia delapan puluh ton per minggu, Korea sepuluh ton per minggu,

Harga yang importir tetapkan juga menunjukan penghasilan yang menggiurkan, karena Hongkong menetapkan 4,5 dolar amerika per kilogram belut segar. Jepang bahkan lebih menjanjikan lagi dengan 9-10 dolar amerika per kilogram belut segar.

Pasar dalam negeri, bahkan lokal DIY dan sekitarnya juga tidak kalah terbukanya. Pasar dalam negeri telah dipatok harga perkilogramnya sebesar Rp. 10.000,00. untuk plasma. Pasar Jakarta membutuhkan 20 ton per hari dan DIY dan sekitarnya sebanyak 150 home industri terpantau membutuhkan kurang lebih 300 kuintal per hari. Permintaan ini juga datang dari Super market sebanyak 5 kuintal per hari.

Lebih lanjut Sonson mengatakan bahwa bagi pemula diharapkan mau belajar budidaya dan sifat belut, sehingga kanibalisme tidak terjadi pada kolam produksi. Disamping itu per-syaratan kolam, sehingga belut dapat berkembang dengan baik dan aman dari hama dan predator alami. Kolam ini dapat diatas atau menggali tanah.

Pembuatan kolam belut diawali dengan perencanaan konstruksi kolam, pemilihan lahan. Hal ini dilanjukan dengan penggalian tanah atau pembuatan bak diatas tanah, baik untuk kolam penampungan induk, kolam pemijahan dan pendederan maupun kolam pembesaran. Kolam-kolam ini memiliki ukuran tersendiri antara lain : Kolam Penampungan Induk berukuran 200 cm X 400 cm kedalaman 80 cm, Kolam Pemijahan dan Pendederan berukuran 200 cm X 200 cm kedalaman 100 cm, Kolam Pembesaran berukuran 500 cm X 500 cm kedalaman 120 cm.
Disamping ukuran dan persyaratan lahan juga dilengkapi dengan media pemeliharaan dengan urutan dan ukuran antara lain sebagai berikut :
1. Jerami setinggi 40 cm.
2. Pupuk Urea 5 kg dan NPK 5 kg
(kolam berukuran 500 cm X 500 cm atau perbandingannya).
3. Lumpur/tanah setinggi 5 cm.
4. Pupuk Kandang setinggi 5 cm.
5. Pupuk kompos setinggi 5 cm.
6. Lumpur/tanah setinggi 5 cm.
7. Cincangan Batang Pisang setinggi 10 cm.
8. Lumpur/tanah setinggi 15 cm.
9. Air setinggi 10 cm.
10. Enceng gondog sebanyak 3/4 permukaan kolam.

Media pemeliharaan ini didiamkan agar terjadi proses permentasi selama kurang lebih dua minggu, sehingga siap untuk ditaburi bibit/benih belut yang akan dibudidayakan.
Pelaksanaan pengembangbiakan dapat dimulai setelah kolam dan media pemeliharaan siap. Langkah berikutnya adalah memilih bibit belut yang baik agar hasilnya dapat masimal. Bibit belut ini harus dipilih yang sempurna atau normal dan singkirkan yang tidak normal. Belut yang berkualitas ini akan menghasilkan keturunan yang baik, sehingga akan berkembang dengan baik pula.

Belut berkualitas memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Anggota tubuh utuh dan mulus yaitu tidak ada luka gigitan.
2. Gerakan lincah dan agresif.
3. Penampilan sehat yang dicirikan tubuh yang keras dan tidak lemas manakala dipegang.
4. Tubuh berukuran kecil dan berwarna kuning kecoklatan.
5. Umur antara 2-4 bulan.

Ciri-ciri Induk Belut yang baik dapat dikenali melalui penampilan :
1. Induk Belut Jantan.
2. -Berukuran panjang lebih dari 40 cm.
3. -Permukaan Kulit lebih gelap atau abu-abu.
4. -Bentuk Kepala Tumpul.
5. -Umur lebih dari sepuluh bulan.
6. -Induk Belut Betina.
7. -Berukuran panjang antara 20-30 cm.
8. -Permukaan Kulit lebih cerah dan warna putih kekuningan pada perutnya.
9. -Bentuk kepala runcing.
10. -Umur dibawah sembilan bulan.
Belut ini mudah berkembangbiak dialam terbuka dan tidak sulit dibudidayakan dikolam yang menyerupai habitatnya serta memberikan penghasilan yang cukup menjanjikan. Pemasaran belut baik budidaya maupun tangkap akan dijamin oleh Koperasi Usaha Cipta Mandiri Yogyakarta.
Perkembangbiakan belut, setahun sekali, akan dimulai dengan Belut jantan membuat lubang menyerupai huruf "U" dan gelembung udara yang menarik betina. Perkawinan akan terjadi pada lubang dan telur akan bertaburan dibawah gelembung udara yang benyerupai busa. Telur-telur ini selanjutnya akan dicakup Belut Jantan untuk ditetaskan di lubang persembunyian dengan pengawasan Belut jantan selama 9-10 hari dialam terbuka dan 12-14 hari dikolam pemijahan. Belut muda ini akan mencari makan sendiri dan lepas dari belut jantan setelah berumur 15 hari.
Secara alami belut memakan binatang lain yang lemah, karena itu mereka harus membuat lubang perangkap yang menyerupai terowongan yang berkelok agar mangsanya tidak mudah lepas. Belut ini dapat dipanen setelah tiga bulan penaburan untuk pasar lokal, namun pasar ekspor minimal enam bulan. Kolam setelah panen diperbaiki dan diganti media pemeliharaannya agar zat renik yang diperlukan pemeliharaan berikutnya dapat tersedia cukup. (heri/win)

Enceng Gondok untuk Bahan Bakar Biogas

Enceng Gondok untuk Bahan Bakar Biogas

Enceng gondok bisa dijadikan bahan bakar biogas dengan biaya murah sehingga dapat menekan pengeluaran rumah tangga. Penggunaan tumbuhan pengganggu itu dalam skala besar memperbaiki kondisi lingkungan dan berdampak pada kelangsungan pasokan listrik. Potensi enceng gondok di Jawa Barat sangat besar.
Pejabat Harian Manajer Humas Unit Bisnis Pembangunan (UBP) Saguling Muhammad Sayogo di Kabupaten Bandung Barat, Jumat (29/6), mengatakan, po-tensi biogas dari enceng gondok luar biasa besar. Enceng gondok banyak ditemukan di sekitar Waduk Saguling.
Permukaan air saguling sekitar 5.000 hektar dan hampir seluruhnya tertutup gulma tersebut. Daerah yang banyak enceng gondok adalah kecamatan Cihampelas dan Batujajar, Bandung Barat.
Menurut Sayogo, biaya penanganan enceng gondok untuk Waduk Saguling sangat besar, lebih dari 1 milyar per tahun. Penyebaran enceng gon-dok harus diantisipasi karena menyebabkan pendangkalan.
Pendangkalan membuat aliran air untuk pembangkit tenaga listrik terganggu. Oleh karena itu, pemberdayaan encng gondok akan membantu kelang-sungan pasokan listrik. Apalagi, hamparan enceng gondok banyak ditemukan di waduk.
Pelaksana Lingkungan UBP Saguling Endang Hadiyat mengatakan, jika dicacah, biogas yang dihasilkan dari proses fermentasi enceng gondok membutuhkan waktu seminggu. Eeceng gondok yang ditumbuk memerlukan waktu lebih singkat, sekitar 5 hari.
Pihak UBP Saguling sudah membuat alat penghasil biogas dari enceng gondok. Alat cukup diisi enceng gondok dan air. Inovasi tersebut dihasilkan akhir tahun 2006. Enceng godok seberat 200 kilogram menghasilkan biogas cukup untuk seminggu, dengan pemakaian 1,5 jam per hari.
Setiap hari alat berupa drum yang disambungkan dengan selang dan plastik penampung gas itu hanya perlu diisi dengan seember enceng gon-dok. “Sesuatu yang membusuk mengandung biogas itu bermanfaat untuk manusia,” kata Endang.
Enceng gondok menjadi biogas karena sesudah melalui beberapa tahap pembuatan dapat menimbulkan Etana. Enceng gondok adalah sejenis tanaman hidrofit yang mengapung dalam luas 1 meter persegi dengan berat 2 kg. Mengingat luasnya permukaan Waduk Saguling, potensi enceng gondok se-bagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah sangat besar.
Manfaat lain adalah menekan pengeluaran untuk penanganan enceng gondok. Di sisi lain, masyarakat ekonomi lemah dapat terbantu karena bahan bakar murah, seperti kayu, semakin sulit dicari.
Pakar lingkungan, Universitas Padjadjaran Otto Soemarwoto mengatakan, enceng gondok, selain menimbulkan pendangkalan waduk, juga menyerap logam berat, seperti besi, seng, tembaga, dan raksa.
Encang gondok akan berkembang pesat bila air dipenuhi limbah pertanian dan pabrik. Tanaman itu dapat mnutupi permukaan air sehingga sinar matahari tidak dapat tembus ke dasar sungai. Akibatnya, kehidupan tumbuhan lain dan hewan terganggu.

Manfaat Tanaman Azolla


Azolla microphylla di kolam dipanen dengan serok. Azolla basah dan kering. Azolla basah disukai oleh ikan, itik, maupun ternak besar seperti kambing, sapi, dll. Azolla kering bisa dicampurkan dalam pembuatan pakan ternak untuk menambah nilai gizi, terutama protein.
Kolam Azolla yang ada di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). UMM mengembangkan Azolla di kolam-kolam percobaannya untuk bahan penelitian para dosen dan mahasiswa. Jenis Azolla yang diteliti yaitu Azolla microphylla

Kamaruddin, Sang PPL THL Deptan di Kecamatan Krayan Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur sedang mengamati Azolla microphylla yang sudah cukup berkembang di sawah-sawah sejak tahun 2007 yang lalu. Dengan Azolla kesuburan sawah dapat ditingkatkan, petani tidak perlu lagi mendatangkan pupuk Urea dan lainnya, ikan yang ada di sawah juga akan berkembang biak dan tumbuh pesat, serta itik yang dilepas di sawah men-dapatkan sumber makanannya yang melimpah, yaitu Azolla microphylla. Begitu ujarnya.


Bapak Ir. Syarifuddin MSi, Dosen UMM ini sangat getol meneliti Azolla microphylla. Dengan kebaikan hati beliaulah bibit Azolla microphylla bisa sampai dan berkembang di Nunukan Kalimantan Timur. Terima kasih Bapak!!
Kolam ini dibersihkan dari ikan untuk secara khusus ditanami Azolla microphylla. Menurut hitungan Ir. Dian Kusumanto kolam Azolla seluas 1 hektar jika produksinya optimal dapat memberi pakan pada sekitar 2000 ekor itik setiap hari.
Tulisan di bawah ini adalah buah pikiran Saudara Agus Rochdianto. Beliau sangat memperhatikan Azolla.

oleh : Agus Rochdianto
Meski sudah diperkenalkan dan dipopulerkan sejak awal tahun 1990-an Azolla, ternyata belum banyak petani yang memanfaatkan tanaman Azolla (pinnata) untuk usaha taninya. Padahal manfaat tanaman air ini cukup banyak. Selain bisa untuk pupuk dan media tanaman hias, Azolla juga bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak dan ikan.
Di Bali, Azolla biasa dan sering dijumpai terapung di perairan sawah dan kolam ikan. Karena dianggap gulma, para petani lantas menyingkirkannya. Ditumpuk dan dibuang begitu saja. Padahal, bila dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman padi di sawah, Azolla ini bisa menekan penggunaan pupuk urea sampai 65 Kg/ha.

Pengganti Urea
Pemanfaatan Azolla sebagai pupuk ini memang memung-kinkan. Pasalnya, bila dihitung dari berat keringnya dalam bentuk kompos (Azolla kering) mengandung unsur Nitrogen (N) 3 - 5 persen, Phosphor (P) 0,5 - 0,9 persen dan Kalium (K) 2 - 4,5 persen. Sedangkan hara mikronya berupa Calsium (Ca) 0,4 - 1 persen, Magnesium (Mg) 0,5 - 0,6 persen, Ferum (Fe) 0,06 - 0,26 persen dan Mangaan (Mn) 0,11 - 0,16 persen.
Berdasarkan komposisi kimia tersebut, bila digunakan untuk pupuk mempertahankan kesuburan tanah, setiap hektar areal memerlukan Azolla sejumlah 20 ton dalam bentuk segar, atau 6-7 ton berupa kompos (kadar air 15 persen) atau sekitar 1 ton dalam keadaan kering. Bila Azolla diberikan secara rutin setiap musim tanam, maka suatu saat tanah itu tidak memerlukan pupuk buatan lagi.
Hal itu dimungkinkan, karena pada penebaran pertama 1/4 bagian unsur yang dikandung Azolla langsung dimanfaatkan oleh tanah. Seperempat bagian ini, setara dengan 65 Kg pupuk Urea. Pada musim tanam ke-2 dan ke-3, Azolla mensubstitusi-kan 1/4 - 1/3 dosis pemupukan.
Dibanding pupuk buatan, Azolla memang lebih ramah ling-kungan. Cara kerjanya juga istimewa, karena Azolla mampu mengikat Nitrogen langsung dari udara.

Untuk media tanam
Penggunaan azolla sebagai pupuk, selain dalam bentuk segar, bisa juga dalam bentuk kering dan kompos. Dalam bentuk kompos ini, Azolla juga baik untuk media tanam aneka jenis tanaman hias mulai dari bonsai, suplir, kaktus sampai mawar. Untuk media tanaman hias, selain digunakan secara langsung, kompos Azolla ini juga bisa dengan pasir dan tanah kebun dengan perbandingan 3 : 1 : 1.
Untuk membuat kompos Azolla, caranya cukup mudah. Buat saja lubang ukuran (P x L x D) 3 x 2 x 2 meter. Kemudian Azolla segar dimasukkan ke dalam lubang. Seminggu kemudian Azolla dibongkar. Untuk mengurangi kadar air menjadi 15 per-sen, Azolla yang sudah terfermentasi tersebut lantas dijemur. Setelah agak kering, baru dikemas dalam kantong plastik atau langsung digunakan sebagai media tanam.

Pakan ternak dan ikan
Selain untuk pupuk dan media tanam, Azolla juga bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, khususnya itik dan beragam jenis ikan omnivora dan herbivora. Sebagai pakan ternak, kan-dungan gizi Azolla cukup menjanjikan. Kandungan protein misalnya, mencapai 31,25 persen, lemak 7,5 persen, karbo-hidrat 6,5 persen, gula terlarut 3,5 persen dan serat kasar 13 persen.
Bila digunakan untuk pakan itik, penggunaan Azolla segar yang masih muda (umur 2 - 3 minggu) dicampur dengan ransum pakan itik. Berdasarkan hasil penelitian, campuran Azolla 15 persen ke dalam ransum ini, terbukti tidak berpengaruh buruk pada itik. Maksudnya, itik tetap menyantap pakan campuran Azolla ini dengan lahapnya. Produksi telur, berat telur dan konversi pakan juga tetap normal. Ini berarti penggunaan Azolla bisa menekan 15 persen biaya pembelian pakan itik. Tentu saja hal ini cukup me-nguntungkan peternak karena bisa mengurangi biaya pembelian pakan itik.
Sama seperti untuk itik, bila akan dimanfaatkan untuk pakan ikan, Azolla bisa diberikan secara langsung dalam keadaan segar. Boleh juga dengan mengolahnya terlebih dulu menjadi tepung. Tepung Azolla ini, selanjutnya digunakan sebagai bahan campuran untuk membuat pakan buatan (pelet) untuk ikan.Berdasarkan kaji terap di lapangan, dalam keadaan segar Azolla bisa diberikan untuk pakan ikan gurami, tawes, nila dan karper. Dengan pemberian pakan berupa Azolla, terbukti ikan tetap bisa tumbuh pesat. Tak kalah dengan ikan lainnya yang diberi pakan buatan berupa pelet. Di saat harga pupuk, pakan ternak dan ikan mahal seperti belakangan ini, tak ada salahnya bila Azolla ini menjadi salah satu alternatif pilihan yang secara finansial cukup menguntungkan. Baik digunakan sendiri secara langsung atau untuk dibisniskan. Mau coba ? (Agus)