Selasa, 01 Desember 2009

Mengangkat Kemiskinan dengan Koperasi Kredit

Mengangkat Kimiskinan dengan koperasi Kredit



Kerja keras merupakan “hobi” Hosman Hurabalian (67). Meski telah pensiun mengajar Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, kesibukan Hutabalian tak pernah berkurang. Dia dipercaya menjadi Ketua Koperasi Kredit Satolop, salah satu koperasi kredit terbesar di Sumatera Utara sejak pertama berdiri tahun 1975.

Oleh KHAERUDIN

Koperasi Kredit Satolop, yang dalam bahasa Batak artinya sia sekata, merupakan salah satu yang terbesar di Sumatera Utaar karena dengan total aset Rp 17 miliar lebih.
Bersama empat rekannya, Pastor Josue Steyner, Paiman Situjgkir, Paulus Ong, dan Jamin Sihombing, Hutabalian mendirikan Satolop dengan prinsip kemiskinan, kesingsaraan, dan kebodohan masyarakat bisa hilang asal jaln piiran mereka dipersatukan untuk membangun kemandirian.
“Tekanan ekonomi bisa mempersatukan masyarakata asal ada yang mampu memimimpin mereka untuk bekerja keras,” tutur Hutabalian.
Satolop dibangun oleh 21 anggota pada 1975. simpanan wajib anggota kala itu hanya Rp 200 per bulan. “Baru setelah enam bulan kami bisa meminjamkan uang kepada anggota. Itu pun baru satu anggota yang bisa mendapat pinjaman, sebesar Rp 25.200. ini harus dibayar selama tiga bulan dengan bunga tiga persen per bulan,” katanya.
Dia bercerita, awalnya pinjaman tersebut belum selancar yang diharapkan. “Begitu ada rintangan, kami baru bikin peraturan,” kata pria kelahiran 27 Juni 1940 ini.
Salah satu aturan yang kini dipertahankan, jika anggota gagal membayar kredit, pengembalian utang menjadi kewajiban tiga anggota yang memberi jaminan. Untuk mendapatkan kredit di Satolop, seorang anggota harus mendapat kepercayaan dari tiga anggota lain.
Mereka ini disebut sebagai penakin, yang berkewajiban membayar utang jika anggota yang dijaminnya gagal membayaar. Dengan aturan seperti ini, kepercayaan menjadi modal utama bagi anggota Koperasi Kredit Satolop. Itulah satu-satunya syarat meminjam bagi anggota, dan rupanya mereka pun merasa lebih nyaman meminjam di koperasi dibanding pergi ke bank konvensional.

Pendidikan Moral
Kepercayaan menjadi kurikulum pendidikan bagi anggota. Anggota baru harus mengikuti pendidikan calon anggota setiap Minggu dalam lima kali pertemuan dengan durasi per pertemuan tiga jam. Setelah menempuh pendidikan ini, tiga bulan kemudian anggota bisa mendapat fasilitas pinjaman.
Pendidikan juga diwajibkan untuk setiap kelompok sebanyak sekali stiap dua bulan. Selain soal perkoperasian, materi pendidikan juga berisi hak dan kewajiban anggota, yang oleh Hutabalian disebut pendidikan moral.
Menjelang pelaksanaan pendidikan, setiap anggota diberi surat pernyataan yang sisinya harus membuang penyakit-penyakit moral. Ada 42 penyakit moral dalam budaya Batak yang harus dibuang jika ingin memelihara persatuan dan kesatuan koperasi , di antaranya ginjang roga (tinggi hati atau sombong), parhata ningku (mau menang sendiri), parjuji (judi), parmabuk (mabuk), paburuk-burukhon (menjelek-jelekkan orang lain) pabada-badahon (suka mengadu domba), dan pargabus (berbohong).
Seperti pengkhotbah, Hutabalian tak bosan mengingatkan setiap anggota agar menjauhi penyakit moral. Bisa di tengah ramainya anggota daatang ke kantor Satolop_biasanya Selasa yang jadi hari pasaar di Siborong-borong, untuk menyimpan uang atau mengambil pinjaman—Hutabalian tiba-tiba mengambil pengeras suara. Tempat duduk dia persis di belakang teller sehingga posisinya strategis.
Dengan suara lantang ia berkata, “Saudara, kalaulah ada surga di dunia ini, mungkin di sinilah (Koperasi Kredit Satolop) tempatnya. Meski ini jadi surga buat Saudara, tapi jangan sampai Saudara sekalian lupa. Pinjaman tetaplah harus dilunasai, karena koperasi ini bisa hidp dari kerja keras Saudara semua.”
Semua pidatonya menjelaskan tentang ke-42 penyakit moral yang harus dihindari. Gayanya khas, berpidato saat sraf kopirasi tengah sibuk melayani anggota, membuar sosoknya mudah dikenal, meski kini Satolop punya 4.895 anggota.

Kemiskinan di Desa
Cerita tentang pendirian Koperasi Kredit Satolop, menurut Hutabalian, tak lepas dari kemiskinan petani di desa. “Waktu itu, setiap pendeta berkhotbah di gereja, semua orang mengantuk karena badannya kurang sehat.”
Bersama keempat pendiri Stolop lain, Hutabalian aktif berdiskusi bagaimana mengubah kemiskinan orang-orang desa. “supaya tidak ngantuk, badan ini harus dijaga agar seimbang jasmani dan rohani. Dulu sedang marak sistem ijon. Rakyat harus kerja keras hanya untuk membayar bunga, yang sayangnya bunga tersebut dinikmati orang lain,” ujar ayah tujuh anak ini.
Dari situ timbul pikiran bagaimana agar rakyat terbebas dari lingkaransetan pinjam-meminjam dalam sistem ijon. “Kami kumpulkan dana sedikit-sedikit. Sesudah terkumpul, kami gantian memakainya. Tuhan itu mahapemurah, kita semua pasti pernah diberi yang sedikit, tetapi tak mengapa, setitik lama-lama menjadi bukit. Banyak atau sedikit, kami simpan sebagian penghasilan ini. Kalau meneak nasi, sebelum beras sampai ke periuk, ambillah sehenggam untuk disimpan,” ujar suami Sondang Nababan ini.
Prinsip itulah yang dia jaga selama lebih dari 30 tahun Satolop berdiri. Hasilnya terlihat sekarang, per Juli 2007, Koperasi Kredit Satolop memiliki aset sebesar Rp 17.848.747.306 dengan total kredit yang dikucurkan mencapai Rp 12 kiliar lebih.
Jumlah kredit yang telah diberikan kepada anggota sejak koperasi berdiri mencapai Rp 69.782.236.800. anggotanya tersebar di tujuh kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara, mulai dari Siborongborong, Lintong Nihuta, Sipahutar, Pagaran, Sipaholon, Muara, dan Perangin.
Bahkan, Hutabalian pun tak pernah membayangkan koperasi yang dia bina bisa sebesar sekarang. Dari koperasi yang hanya mampu memberikan total pinjaman Rp 805.400 hingga akhir tahun 1975, kini Satolop dapat mengucurkan kredit bermiliar rupiah seperti bank.
Kemiskinan dan tak adanya kesadaran akan kemampuan diri di kalangan petani Tapanuli Utara mulai terkikis dengan bantuan Koperasi Kredit Satolop.
“Sekarang, rakyat tidak lagi membayar bunga untuk orang laim. Bunga yang mereka bayarkan kembali kepada mereka sendiri (dalam bentuk sisa hasil usaha). Mungkin kalau negara kita bisa seperti ini. Indonesia tak punya utang lagi,” paparnya.

Pembasmi Hama dengan Fornula EKD

Ermina dan Pembasmi Hama dengan Formula EKD



Kenapa manusia begitu tidak adil terhadap alam? Manusia selalu mengambil yang terbaik dari alam, tetapi tidak pernah mengembalikan yang terbaik kepada alam. Berangkat dari konsep pemikiran ini Ermina Komala Dara meracik formula EKD yang multiguna.

Oleh C ANTO SAPTOWALYONO

EKD adalah kependekan dari nama perempuan kelahiran Palangkaraya, 19 November 1965 ini. Formula EKD ini dapat dimanfaatkan sebagai starter atau biang fermentasi bahan organik untuk membuat pupuk, pakan, biopestisida, bioherbisida, pembersih lantai, dan juga ramuan kecantikan alamiah.
Pembuatan formula EKD diawali dengan menyiapkan ragi. Bahannya akar pinang, akar alang-alang, kunyit, temulawak, lengkuas, serai, merica, cabe rawit, cengkeh, kayu manis, tembakau, cabe jawa, kapulaga, adas manis, jintan, bawang putih, dan pala.
Semua bahan tadi ditumbuk hingga halus, dicampur air dan disaring. Selanjutnya dicampurkan dengan tepung beras, digerus hingga rata, dengan kadar air 30 hingga 40 persen. Adonan tadi dikepal bulat seukuran bola pingpong dan ditekan bagian tengahnya.
Untuk mempercepat fermentasi dapat dibaluri ragi yang sudah jadi. Semua bahan tadi selanjutnya ditaruh pada nampan, ditutup rapat dengan kain, dan didiamkan dua hari dua malam. Kemudian, bulatan-bulatan tadi dijemur di terik matahari sekitar 10 hari. Jadilah ragi.
Pembuatan formula EKD dapat menggunakan tape ketan atau lahang (anding, minuman beralkohol tradisional Dayak). Caranya, tape ketan dimasukkan ke gentong, ditaburi ragi, kemudian ditambahi gula pasir dan air. Gentong ditutup rapat dan didiamkan sedikitnya dua pekan. Satu hingga dua kali sehari tutupnya dibuka dan diaduk. Maka, selesailah pembuatan formula EKD berbasis tape ketan.
Adapun formula EKD berbasis lahang diracik dengan mencampur ragi dan lahang dalam wadah tertutup, difermentasi tiga hingga empat hari, dan sesekali gas fermentasi dibebaskan dengan cara membuka tutup wadah. “Formula EKD pun dapat dibuat menggunakan bahan yang dikenal di sutau daerah, misalnya legen atau nira kelapa,” ungkap Ermina di Palangkaraya.

Multiguna
Formula EKD yang mudah di buat para petani ini, kata Ermina, memiliki banyak kegunaan, misalnya untuk membasmi hama penyakit tanaman. Ini antara lain sudah dipraktikkan petani cabai di Kalampangan, Palangkaraya, yang tanamannya diserang penyakit sehingga mengering seluruh batang dan daunnya sekitar Juli 2007.
Ermina waktu itu mengajak petani Kalampangan untuk mencari tana-man lain yang terlihat sehat di sekitar lahan cabai tadi. “Saya berkeyakinan tanaman yang sehat itu pasti memiliki zat yang mampu menangkal pe-nyakit,” katanya.
Dipetiklah daun lengkuas, serai, jambu air, dan jambu biji yang selanjutnya dipotong-potong dan dicampur dengan formula EKD. Larutan tadi kemudian dimasukkan ke wadah tertutup dan difermentasi selama lima hingga tujuh hari.
Larutan ini lalu disemprotkan tiap hari ke tanaman cabai hingga serangan berhenti. Hasilnya, dalam kurun waktu sekitar sebulan tanaman cabai yang kering kerontang tadi pun kembali menghijau dan berbuah.
Pemanfaatan EKD sebagai larutan pembasmi gulma tidak mahal, hanya sekitar Rp 20.000 per hektar. Ini karena bahan yang dipakai banyak tersedia dalam kehidupan sehari-hari, dan sama sekali tidak menggunakan bahan kimia buatan pabrik.
Ermina menyebutkan, formula EKD ini juga mampu meningkatkan produktivitas tanaman. “Prinsipnya, kembalikan yang terbaik kepada tanaman. Jangan hanya memanfaatkan limbah tanaman untuk dijadikan pupuk. Untuk menyuburkan tanaman jagung, misalnya, campurkan ekstrak jagung dengan EKD dan semprotkan ke daun jagung serta tanah di sekitar tanaman,” paparnya.
Berdasarkan hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan Badan penelitian dan Pengembangan Daerah Kalimantan Tengah tahun 2003, aplikasi pupuk EKD cair menghasilkan pipilan jagung mencapai 5,85 ton per hektar. Sebagai bandingan, tanpa perlakuan pupuk cair EKD ini, hasil pipilan jagung hanya 4,70 ton per hektar.
Untuk memupuk satu hektar tanaman jagung dibutuhkan sekitar 10 kilogram ekstrak jagung dan 10 liter EKD. Adapun untuk satu hektar tanaman tomat diperlukan empat kilogram tomat yang diekstrak dan empat liter EKD. Dilarutkan dalam air, dan siaplah cairan tadi untuk disemprotkan ke lahan.

Flu burung
Sapi Bali yang diberi pakan konsentrat plus EKD cair tambahan, beratnya per hari mampu mencapai 0,786 kilogram per hari. Ini lebih tinggi dibanding per-tambahan berat sapi yang tidak mendapat perlakuan EKD, yakni di kisaran 0,25 hingga 0,4 kilogram per hari.
Bahkan, menurut Ermina, ternak unggas yang diberi pakan dengan campuran EKD juga terbebas dari flu burung meski ternak di sekitarnya terkena wabah tersebut. “Ini antara lain sudah dicobakan di Kotawaringin Timur,” tuturnya.
Formula EKD sekarang sudah banyak dipakai dan dipraktikkan petani di berbagai daerah mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lainnya. Teknologi pemanfaatan EKD ini pun acap diseminarkan.
EKD dapat dimanfaarkan untuk pembersih lantai, yakni cukup dengan mencampurkan 55 cc larutan ini dengan satu ember isi lima liter air. “Bekas cacar dan jerawat juga dapat dihilangkan menggunakan masker berbahan rendaman beras dan EKD ini. Saya pernah memakainya,” kata Ermina.
Ermina tidak mau mematenkan temuannya itu karena dia ingin agar teknologi EKD yang ramah lingkungan dan murah ini dapat dimanfaarkan masyarakat seluas-luasnya. Dengan alasan sama, dia pun enggan bekerja sama dengan pabrikan. Melalui formula EKD ini, Ermina ingin melestarikan kearifan tradisional Dayak yang dikenal akrab dengan lingkungan dan mempunyai rasa memiliki alam. Ini dia wujud nyatakan dengan mengembalikan yang terbaik kepada alam melalui pemanfaatan EKD yang ramah lingkungan.

Haji Masngut, Susu dan Pertanian Terpadu

Masngut, Susu dan Pertanian Terpadu

Dia muncul dan malang-melintang dari bawah, sebagai petani, pe-ternak, maupun pedagang. Berbagai rintangan dihadapi dengan “bonek”- bondo nekat. Ia ingin mengangkat martabat petani Blitar selatan lewat perkebunan sawit.

Oleh: JA Noertjahyo
Masngut Imam Santoso (67) dilahirkan pada zaman revolusi kemerdekaan. Masa kecilnya sebagian besar dijalani pada masa susah. Masa sekolahnya kacau terkait agresi Belanda, sebab desanya, Kerjen di Kecamatan Srengat, sekitar 12 kilometer sebelah barat Kota Blitar, tak lepas dari berbagai alktivitas perjuangan.
Bangku SMP dan SMA dia selesaikan pada sekolah swasta Nasional di Blitar. ”Saya tidak diterima masuk sekolah negeri,” tuturnya. Karena status sekolahnya swasta, ia harus mengikuti ujian negara agar mendapat ijazah pemerintah. Uniknya, ijazah SMP dan SMA diperolehnya pada tahun yang sama, 1959.
Pendidikan Tingginya sampai sarjana muda, terkendala masalah ekonomi dan peristiwa G30S/PKI . Masngut lalu mengadu nasib ke Jakarta. Sekitar delapan tahun ia menjadi pedagang sayur di Pasar Senen, lalu pindah ke Pasar Kramat Jati. Ia kembali ke desanya tahun 1973 karena hidup di Jakarta dirasakan berat.
Di desa Masngut menjadi petani, peternak ayam, kambing dan sapi perah, seperti penduduk lain. Pemasaran hasil pertanian dan peternakan saat itu melalui tengkulak dan pasar tradisional. Posisi produsen lemah dan keuntungan lebih dinikmati tengkulak. Kondisi ini mengusik Masngut untuk menemukan jalan keluar agar petani tak menjadi bulan-bulanan pasar.

Koperasi Susu
Produksi susu di daerah Blitar yang terus meningkat membuat pasar tradi-sional tak mampu menyerap. Sementara koperasi susu posisinya lemah berhadapan dengan pabrik pengalengan.
Masalah utama yang selalu menjadi “permainan” adalah kualitas susu yang berimplikasi pada tingkat harga. Di sini peternak dan koperasi selalu kalah. Dalam posisi yang semakin terjepit, para peternak Kerjen sepakat mendirikan koperasi sendiri, terbentuklah Koperasi Rukun Santoso yang beranggotakan 25 peternak.
“Saat itu produksi susu sekitar 3.000 liter per hari,” cerita H. Masngut yang secara aklamasi dipilih menjadi ketua koperasi.
Namun, koperasi ini tidak dapat menjual susu langsung ke pabrik di Surabaya karena ada semacam monopoli koperasi-koperasi lain yang lebih dulu berdiri. Untuk menjadi anggota Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) yang menjadi “pintu” pemasok ke pabrik, juga terhambat berbagai persyaratan.
Namun, atas usaha keras dan perantara kenalan, Rukun Santoso dapat memasukkan susu secara langsung ke sebuah pabrik di luar Jawa Timur. Meski keuntungannya tipis, yang penting produksi anggotanya tertampung.
Akan tetapi, baru sekitar setahun pabrik menerima setoran dari Rukun Santoso, terjadilah mekanisme “hukum monopoli”. Koperasi yang sudah lama menjadi pemasok terbesar pabrik itu mengultimatum agar pabrik menghentikan setoran dari Rukun Santoso.
Jika tak dipenuhi, koperasi tersebut mau menghentikan pasokan. Ini akan mengakibatkan pabrik kekurangan bahan baku (susu segar) sehingga pabrik pun menurutinya. Surat pemberitahuan bahwa 2 pekan lagi pabrik tak dapat menerima setoran susu dari Kopersai Rukun Santoso pun diterima Masngut.
“Kami panik dan bingung, bagaimana mencari pasar baru dalam waktu sesingkat itu,” ujarnya.Dalam situasi sulit itu Masngut memutuskan pergi ke Jakarta, mencari informasi pemasaran susu dari kenalan saat berdagang sayur di Karmat Jati. “Saya keliling Jakarta sampai Bandung dengan bondho nekat. Tidur dari masjid ke masjid, makan seadanya sambil terus mohon petunjuk kepada Allah,” tuturnya.
Melalui seorang teman di Koperasi Pasir Jambu, Bandung, ia berkenalan dengan pimpinan bagian pembelian pabrik susu di Jakarta yang sedang mencari pasokan susu segar. Pucuk dicinta ulam tiba, terjadilah kesepakatan jual-beli di antara mereka. “Allah mendengarkan doa orang yang terhimpit kesulitan,” ucapnya.
Kiriman pertama susu segar dari Srengat ke Jakarta terjadi pada 22 Februari 2003 sebanyak 5.000 liter, dengan truk tangki Rukun Santoso. Yang meng-herankan, kualitas susunya dikategorikan nomor satu. Ini berbeda dengan kualitas yang ditentukan pabrik lama. Maka, selain mendapat pasar, para peternak juga memperoleh keuntungan lebih besar.
Jumlah permintaan susu dari pabrik di Jakarta terus meningkat, dari 5.000 liter per hari, dalam empat tahun melonjak menjadi 63.000 liter per hari atau pada Septrember 2007. Armada angkutan koperasi yang semula dua truk, sekarang menjadi 14 truk.
Perkembangan pesat ini memunculkan kekhawatiran pengurus koperasi. Mereka khawatir tak mampu memenuhi permintaan, apalagi ada permintaan baru dari Jawa Tengah dan daerah lain. Untuk itu Rukun Santoso mempelopori terbentuknya Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) dengan kantor pusat di Kota Malang. Asosiasi ini bertugas mengoordinasikan pemarasan susu dari para anggota, dan Masngut menjadi kertua umum.

Pertanian Terpadu
Ia memperkenalkan usahanya sebagai pertanian terpadu (Integrated farming) ramah lingkungan. Saat ini kegiatan terbesar pada ternak ayam petelur, sapi perah, ternak ikan, pabrik pupuk organik, pakan ternak, dan transportasi
Kotoran ternak (ayam dan sapi) tak mencemari lingkungan, karena dengan tambahan beberapa bahan tertentu dapat diproses menjadi pupuk organik. Sebagian kecil kotoran ayam “ditampung” dalam kolam-kolam di bawah kandang untuk pakan ikan (lele dan gurame).
Sementara kotoran yang tercecer menjadi makanan ceremende (sejenis kecoa), hewan yang mudah berkembang biak dan disukai ikan. Jadilah sekitar 70 persen pakan ikan dicukupi dari limbah peternakan ayam.
Padahal, ikan juga usaha menguntungkan. Sebagai gambaran, empat tahun lalu biaya naik haji Masngut dan Istrinya dibayar dari penjualan sekali panen kolamnya.
Pakan sapi perah di desa ini terjamin sepanjang tahun. Limbah pertanian begitu melimpah, ditambah hampir tiap jengkal tanah dapat ditanami rumput gajah. Kini, meski warga Blitar menempatkan dia sebagai pengusaha sukses, Masngut tetap suka naik motor keliling desa mengontrol usaha, memeriksa kandang dan pakan sapi perah, telur ayam, kolam ikan, areal pembibitan kelapa sawit, atau kualitas produksi susu.
Walaupun sudah mapan, namun Masngut tak ingin berhenti. “Pada usia setua ini saya ingin mengabdikan diri, ilmu, dan pengalaman untuk masyarakat,” ujarnya. Untuk itu ia mengandeng Ric Widodo yang berpengalaman mengelola perkebunan, tokoh peternak unggas Marmin Siswoyo, dan beberapa profesional bidang lain, mendirikan Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Mandiri T5 (LKMM-T5). Proyeknya, membuat Blitar selatan yang gersang menjadi perkebunan sawit, jarak pagar, pembibitan sapi, dan Pabrik pupuk organik. JA Noertjahyo

SRI adalah Budidaya Padi Hemat Air

*Budidaya Padi Hemat Air

SRI (System of Rice Intensification) adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara. Metode ini terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50%, bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100%.

Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh biarawan Yesuit asal Perancis bernama FR. Henri de Laulani, S.J. Oleh penemunya, metodologi ini selanjutnya dalam bahasa Perancis dinamakan Le Syst me de Riziculture Intensive disingkat RSI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI.

Sampai dengan tahun 2006, SRI telah berkembang di 36 negara, yaitu: Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, Bangladesh, Cina, India, Nepal, Srilangka, Gambia, Madagaskar, Mozambique, Sierra Leone, Ghana, Benin, Barbados, Brasil, Cuba, Guyana, Peru, Amerika Serikat, Afganistan, Iran, Irak, Pakistan, Burkina Faso, Ethiopia, Guinea, Mali, Zambia, Colombia, Republik Dominika dan Haiti.

SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya Norman Uphoff (Director of Cornell International Institute for Food, Agriculture and Development). Pada tahun 1997, Uphoff mengadakan presentasi SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar.

Uji coba pola SRI pertama di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi, Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan musim hujan 1999/2000 dengan hasil rata-rata 8.2 ton/ha.

Penanaman Padi Hemat Air dengan sistem SRI merupakan suatu kegiatan proyek DISIMP (Decentralized Irrigation System Improvement Project in Eastern Region of Indonesia) kerjasama antara Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Direktorat Jendral Pengairan Departemen Pekerjaan Umum dan Japan Bank For International Cooperation (JBIC).

Proyek Padi Hemat Air ini telah dijalankan di beberapa propinsi di Indonesia yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Gorontalo.

Kelebihan SRI (System of Rice Intensification)
1. Tanaman hemat air
2. Hemat biaya (butuh benih 5kg/ha, tidak butuh biaya pencabutan bibit, tidak butuh biaya pindah bibit, tenaga tanam berkurang dll.)
3. Hemat waktu (ditanam bibit muda 5-12 hari setelah semai, panen lebih awal)
4. Produksi dipastikan bisa meningkat, dibeberapa tempat mencapai 11 ton/ha.

Pertanian Organik Produk Sehat dari Alam

*Produk Sehat dari Alam

"Setidaknya ada lima ciri pertanian yang ber-roh," kata petani Gatot Surono (73) di hadapan puluhan petani di Dusun Karang Wetan, Desa Tegaltirto, Berbah, Sleman. Pertanian ber-roh itu berwawasan lingkungan, murah secara ekonomi, sesuai dengan budaya setempat, berkeadilan sosial yang manusiawi, serta menghargai kepemilikan pribadi.
Pertanian ber-roh yang dimaksud tidak lain adalah pertanian alami(Pertanian Organik). Jenis pertanian ini mengandalkan segala hal yang ada dalam kehidupan, mulai dari manusia, ternak, tumbuh-tumbuhan, mikroorganisme, air, hingga udara. Di situ ada saling ketergantungan, keterkaitan, serta saling membutuhkan.
Karenanya, setiap langkah bertani organik yang disampaikan Gatot Surono petani asal Purbalingga, Jawa Tengah selalu berbasis pada kelima dasar itu. Petani organik selama lebih dari 20 tahun ini membagikan ilmu untuk mendatangkan hewan-hewan pengurai yang membantu percepatan pembusukan pupuk kompos, atau obat untuk mempercepat pertumbuhan buah atau bunga, serta cara pengendalian hama. Semua bahan didapatkan secara mudah dan murah karena telah disediakan alam.
Pelajaran pertama yang dimulai untuk setiap daerah baru adalah pembuatan perangsang mikroorganisme untuk pembusukan serta pembuatan pupuk. Petani sesungguhnya mempunyai kesempatan untuk membuat sendiri pupuk sesuai kebutuhan tanah atau tanaman mereka. Sebagai contoh, bila petani ingin mengurangi residu kimia yang selama ini bersarang di tanah, pemakaian daun bambu akan menyerap kandungan kimia sisa pertanian hijau puluhan tahun.
Jerami sisa panen padi sebelumnya merupakan modal untuk membuat pupuk, selain juga dapat digunakan untuk pakan ternak. Dalam pertanian hijau, keberadaan jerami tidak dibutuhkan dalam proses pertanian berikutnya. Maka, tak heran bila kita kerap melihat petani membakar jerami di sawah yang habis dipanen.
"Kalau petani konvensional mau langsung bertani organik murni, ya bisa saja. Hasil yang didapatkan juga tidak akan jauh berkurang dibandingkan pertanian hijau. Tinggal caranya saja yang perlu dipelajari," kata Gatot.
Yang tidak kalah pentingnya adalah Organisasi Kelompok Tani. Di sinilah petani mempunyai wadah untuk bertukar cerita dan pengalaman seputar proses pertanian organik yang mereka kerjakan. Di samping itu, kelompok tani juga memperkuat para petani untuk menentukan harga jual produk pertanian yang mereka hasilkan.
Keseimbangan alam jugalah yang diterapkan Prasetyo Bowo (31) atas tanah yang diolahnya selama 7 tahun menjadi sawah organik. Petani di Dusun Brayut, Pendowoharjo, Sleman, ini juga menanam tanaman sayur untuk mencukupi kebutuhan harian serta memelihara 2 sapi untuk mendukung pertanian.
Hasil utama dari sapi itu bukanlah susu atau dagingnya, melainkan kotoran dan urine yang menjadi bahan utama untuk pupuk. Susu perah yang diambil harian merupakan "bonus" untuk menambah penghasilannya yang mengolah pertanian terpadu di atas lahan seluas 6.000 meter persegi ini. Sedangkan sebagian daun-daunan dari pertanian digunakan sebagai pakan ternak.
"Ilmu pertanian organik memang tidak ada habis-habisnya. Sampai sekarang saya juga masih terus belajar untuk mendapatkan metode paling efisien dengan modal yang saya miliki," tuturnya. Pemerhati pertanian organik mungkin bisa bernapas lega karena ternyata masih ada orang-orang muda seperti Prasetyo yang tertarik untuk terjun dalam pertanian organik.
Di Dusun Kleben, Desa Sidorejo, Godean, Sleman, petani yang tergabung dalam kelompok tani Bangun Rejo membuat laboratorium penelitian sebagai tempat berlatih para petani. Di laboratorium itu eksperimen ilmu-ilmu pertanian organik bisa dilakukan.
Kini, petani di Dusun Kleben itu tengah mencoba pembuatan urea cair organik yang berbahan dasar ikan air tawar yang dicampur dengan gula, dan ditutup rapat sekitar 3 bulan. Hasil fermentasi yang berbentuk cair itu digunakan sebagai biang untuk memupuk padi mereka.
Di tanah yang digunakan untuk laboratorium kelompok ini jugalah petani mencoba alih lahan dari pertanian hijau menjadi pertanian organik secara langsung. Pemakaian daun bambu diandalkan untuk menyerap bahan-bahan kimia dari tanah. Hasilnya, bobot gabah yang dipanen tidak berbeda dibandingkan gabah anorganik. Hasil ini selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Akan tetapi, Ketua Kelompok Tani Bangun Rejo, Purwanto, mengakui tidak semua petani berani menggunakan bahan-bahan organik 100 persen. Sebagian petani masih menambahkan pupuk kimia untuk tambahan. Pemakaian pupuk kimia ini dikurangi sebagian dalam setiap periode penanaman padi berikutnya.
Ia menambahkan, petani juga menerapkan metode peminjaman bibit bergulir, untuk petani dari daerah lain yang ingin mendapatkan bibit lokal. Bibit lokal ini diberikan kepada petani dari daerah lain secara gratis. Namun, petani itu harus melakukan konservasi atas bibit lokal tersebut sehingga setelah panen ada sebagian gabah yang digunakan untuk bibit lagi. Bibit tersebut digulirkan kepada petani lain yang ingin menerapkan metode pertanian organik. Salah satu keunggulan pertanian organik adalah pemakaian bibit lokal yang bisa terus menerus dilestarikan sehingga petani bisa menghemat pengeluaran untuk membeli bibit.
Bibit lokal ini pula yang memungkinkan petani untuk menggunakan satu gabah untuk tiap satu lubang tanam. Satu gabah itu akan berkembang menjadi puluhan anakan padi. Metode ini dikenal dengan nama system rice intensification (SRI). Dibandingkan metode konvensional, penanaman satu gabah untuk satu lubang tanam tidak dimungkinkan. Kebutuhan gabah per lubang tanam setidaknya tiga butir gabah, dengan anakan yang dihasilkan hanya belasan saja.
Keuntungan petani organik lainnya berupa katul dan menir. Di Desa Balak, Kecamatan Cawas, Klaten, sebagian petani organik menggunakan katul organik sebagai bahan pembuat minuman, yang juga bisa dijadikan alternatif pangan. "Syaratnya, proses pertanian yang digunakan harus betul-betul organik. Bila tidak, katul yang diperoleh masih mengandung bahan kimia," ucap Iryanto, salah satu petani organik yang bergabung dalam paguyuban tani organik.
Pengembangan pertanian organik inilah yang telah dilakukan sejumlah petani untuk menjadi mandiri dan melepas ketergantungan mereka dari apa pun. Peran negara diperlukan untuk melindungi aset yang berharga untuk pertanian organik, termasuk pendidikan petani, lahan, ternak, dan keseimbangan ekosistem. Inilah wujud "perlawanan" atas sebuah sistem besar yang telah menggurita puluhan tahun di tanah pertanian kita.
Antonius Budisusila dari Universitas Sanata Dharma menambahkan, sebagian petani mulai menerapkan vermaculture atau pertanian organik yang memperluas ketergantungan antara satu sarana produksi dan sarana produksi lain.
Sebagai contoh, air limbah rumah tangga yang tidak mengandung zat kimia digunakan untuk pengairan tanaman di sepanjang aliran tersebut. Selain mencukupi kebutuhan air untuk tanaman, air limbah itu tidak mengalir begitu saja, tetapi sudah dimanfaatkan lagi. "Satu hal yang perlu diwaspadai adalah munculnya ketergantungan baru pada pertanian organik, yakni adanya penjualan sarana produksi seperti obat pengendali hama atau pupuk organik yang diproduksi pabrik. Produk ini akan membuat ketergantungan petani pada produk organik, namun yang dihasilkan pabrik," ucapnya.