Selasa, 01 Desember 2009

Mengangkat Kemiskinan dengan Koperasi Kredit

Mengangkat Kimiskinan dengan koperasi Kredit



Kerja keras merupakan “hobi” Hosman Hurabalian (67). Meski telah pensiun mengajar Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, kesibukan Hutabalian tak pernah berkurang. Dia dipercaya menjadi Ketua Koperasi Kredit Satolop, salah satu koperasi kredit terbesar di Sumatera Utara sejak pertama berdiri tahun 1975.

Oleh KHAERUDIN

Koperasi Kredit Satolop, yang dalam bahasa Batak artinya sia sekata, merupakan salah satu yang terbesar di Sumatera Utaar karena dengan total aset Rp 17 miliar lebih.
Bersama empat rekannya, Pastor Josue Steyner, Paiman Situjgkir, Paulus Ong, dan Jamin Sihombing, Hutabalian mendirikan Satolop dengan prinsip kemiskinan, kesingsaraan, dan kebodohan masyarakat bisa hilang asal jaln piiran mereka dipersatukan untuk membangun kemandirian.
“Tekanan ekonomi bisa mempersatukan masyarakata asal ada yang mampu memimimpin mereka untuk bekerja keras,” tutur Hutabalian.
Satolop dibangun oleh 21 anggota pada 1975. simpanan wajib anggota kala itu hanya Rp 200 per bulan. “Baru setelah enam bulan kami bisa meminjamkan uang kepada anggota. Itu pun baru satu anggota yang bisa mendapat pinjaman, sebesar Rp 25.200. ini harus dibayar selama tiga bulan dengan bunga tiga persen per bulan,” katanya.
Dia bercerita, awalnya pinjaman tersebut belum selancar yang diharapkan. “Begitu ada rintangan, kami baru bikin peraturan,” kata pria kelahiran 27 Juni 1940 ini.
Salah satu aturan yang kini dipertahankan, jika anggota gagal membayar kredit, pengembalian utang menjadi kewajiban tiga anggota yang memberi jaminan. Untuk mendapatkan kredit di Satolop, seorang anggota harus mendapat kepercayaan dari tiga anggota lain.
Mereka ini disebut sebagai penakin, yang berkewajiban membayar utang jika anggota yang dijaminnya gagal membayaar. Dengan aturan seperti ini, kepercayaan menjadi modal utama bagi anggota Koperasi Kredit Satolop. Itulah satu-satunya syarat meminjam bagi anggota, dan rupanya mereka pun merasa lebih nyaman meminjam di koperasi dibanding pergi ke bank konvensional.

Pendidikan Moral
Kepercayaan menjadi kurikulum pendidikan bagi anggota. Anggota baru harus mengikuti pendidikan calon anggota setiap Minggu dalam lima kali pertemuan dengan durasi per pertemuan tiga jam. Setelah menempuh pendidikan ini, tiga bulan kemudian anggota bisa mendapat fasilitas pinjaman.
Pendidikan juga diwajibkan untuk setiap kelompok sebanyak sekali stiap dua bulan. Selain soal perkoperasian, materi pendidikan juga berisi hak dan kewajiban anggota, yang oleh Hutabalian disebut pendidikan moral.
Menjelang pelaksanaan pendidikan, setiap anggota diberi surat pernyataan yang sisinya harus membuang penyakit-penyakit moral. Ada 42 penyakit moral dalam budaya Batak yang harus dibuang jika ingin memelihara persatuan dan kesatuan koperasi , di antaranya ginjang roga (tinggi hati atau sombong), parhata ningku (mau menang sendiri), parjuji (judi), parmabuk (mabuk), paburuk-burukhon (menjelek-jelekkan orang lain) pabada-badahon (suka mengadu domba), dan pargabus (berbohong).
Seperti pengkhotbah, Hutabalian tak bosan mengingatkan setiap anggota agar menjauhi penyakit moral. Bisa di tengah ramainya anggota daatang ke kantor Satolop_biasanya Selasa yang jadi hari pasaar di Siborong-borong, untuk menyimpan uang atau mengambil pinjaman—Hutabalian tiba-tiba mengambil pengeras suara. Tempat duduk dia persis di belakang teller sehingga posisinya strategis.
Dengan suara lantang ia berkata, “Saudara, kalaulah ada surga di dunia ini, mungkin di sinilah (Koperasi Kredit Satolop) tempatnya. Meski ini jadi surga buat Saudara, tapi jangan sampai Saudara sekalian lupa. Pinjaman tetaplah harus dilunasai, karena koperasi ini bisa hidp dari kerja keras Saudara semua.”
Semua pidatonya menjelaskan tentang ke-42 penyakit moral yang harus dihindari. Gayanya khas, berpidato saat sraf kopirasi tengah sibuk melayani anggota, membuar sosoknya mudah dikenal, meski kini Satolop punya 4.895 anggota.

Kemiskinan di Desa
Cerita tentang pendirian Koperasi Kredit Satolop, menurut Hutabalian, tak lepas dari kemiskinan petani di desa. “Waktu itu, setiap pendeta berkhotbah di gereja, semua orang mengantuk karena badannya kurang sehat.”
Bersama keempat pendiri Stolop lain, Hutabalian aktif berdiskusi bagaimana mengubah kemiskinan orang-orang desa. “supaya tidak ngantuk, badan ini harus dijaga agar seimbang jasmani dan rohani. Dulu sedang marak sistem ijon. Rakyat harus kerja keras hanya untuk membayar bunga, yang sayangnya bunga tersebut dinikmati orang lain,” ujar ayah tujuh anak ini.
Dari situ timbul pikiran bagaimana agar rakyat terbebas dari lingkaransetan pinjam-meminjam dalam sistem ijon. “Kami kumpulkan dana sedikit-sedikit. Sesudah terkumpul, kami gantian memakainya. Tuhan itu mahapemurah, kita semua pasti pernah diberi yang sedikit, tetapi tak mengapa, setitik lama-lama menjadi bukit. Banyak atau sedikit, kami simpan sebagian penghasilan ini. Kalau meneak nasi, sebelum beras sampai ke periuk, ambillah sehenggam untuk disimpan,” ujar suami Sondang Nababan ini.
Prinsip itulah yang dia jaga selama lebih dari 30 tahun Satolop berdiri. Hasilnya terlihat sekarang, per Juli 2007, Koperasi Kredit Satolop memiliki aset sebesar Rp 17.848.747.306 dengan total kredit yang dikucurkan mencapai Rp 12 kiliar lebih.
Jumlah kredit yang telah diberikan kepada anggota sejak koperasi berdiri mencapai Rp 69.782.236.800. anggotanya tersebar di tujuh kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara, mulai dari Siborongborong, Lintong Nihuta, Sipahutar, Pagaran, Sipaholon, Muara, dan Perangin.
Bahkan, Hutabalian pun tak pernah membayangkan koperasi yang dia bina bisa sebesar sekarang. Dari koperasi yang hanya mampu memberikan total pinjaman Rp 805.400 hingga akhir tahun 1975, kini Satolop dapat mengucurkan kredit bermiliar rupiah seperti bank.
Kemiskinan dan tak adanya kesadaran akan kemampuan diri di kalangan petani Tapanuli Utara mulai terkikis dengan bantuan Koperasi Kredit Satolop.
“Sekarang, rakyat tidak lagi membayar bunga untuk orang laim. Bunga yang mereka bayarkan kembali kepada mereka sendiri (dalam bentuk sisa hasil usaha). Mungkin kalau negara kita bisa seperti ini. Indonesia tak punya utang lagi,” paparnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar