Selasa, 01 Desember 2009

Pertanian Organik Produk Sehat dari Alam

*Produk Sehat dari Alam

"Setidaknya ada lima ciri pertanian yang ber-roh," kata petani Gatot Surono (73) di hadapan puluhan petani di Dusun Karang Wetan, Desa Tegaltirto, Berbah, Sleman. Pertanian ber-roh itu berwawasan lingkungan, murah secara ekonomi, sesuai dengan budaya setempat, berkeadilan sosial yang manusiawi, serta menghargai kepemilikan pribadi.
Pertanian ber-roh yang dimaksud tidak lain adalah pertanian alami(Pertanian Organik). Jenis pertanian ini mengandalkan segala hal yang ada dalam kehidupan, mulai dari manusia, ternak, tumbuh-tumbuhan, mikroorganisme, air, hingga udara. Di situ ada saling ketergantungan, keterkaitan, serta saling membutuhkan.
Karenanya, setiap langkah bertani organik yang disampaikan Gatot Surono petani asal Purbalingga, Jawa Tengah selalu berbasis pada kelima dasar itu. Petani organik selama lebih dari 20 tahun ini membagikan ilmu untuk mendatangkan hewan-hewan pengurai yang membantu percepatan pembusukan pupuk kompos, atau obat untuk mempercepat pertumbuhan buah atau bunga, serta cara pengendalian hama. Semua bahan didapatkan secara mudah dan murah karena telah disediakan alam.
Pelajaran pertama yang dimulai untuk setiap daerah baru adalah pembuatan perangsang mikroorganisme untuk pembusukan serta pembuatan pupuk. Petani sesungguhnya mempunyai kesempatan untuk membuat sendiri pupuk sesuai kebutuhan tanah atau tanaman mereka. Sebagai contoh, bila petani ingin mengurangi residu kimia yang selama ini bersarang di tanah, pemakaian daun bambu akan menyerap kandungan kimia sisa pertanian hijau puluhan tahun.
Jerami sisa panen padi sebelumnya merupakan modal untuk membuat pupuk, selain juga dapat digunakan untuk pakan ternak. Dalam pertanian hijau, keberadaan jerami tidak dibutuhkan dalam proses pertanian berikutnya. Maka, tak heran bila kita kerap melihat petani membakar jerami di sawah yang habis dipanen.
"Kalau petani konvensional mau langsung bertani organik murni, ya bisa saja. Hasil yang didapatkan juga tidak akan jauh berkurang dibandingkan pertanian hijau. Tinggal caranya saja yang perlu dipelajari," kata Gatot.
Yang tidak kalah pentingnya adalah Organisasi Kelompok Tani. Di sinilah petani mempunyai wadah untuk bertukar cerita dan pengalaman seputar proses pertanian organik yang mereka kerjakan. Di samping itu, kelompok tani juga memperkuat para petani untuk menentukan harga jual produk pertanian yang mereka hasilkan.
Keseimbangan alam jugalah yang diterapkan Prasetyo Bowo (31) atas tanah yang diolahnya selama 7 tahun menjadi sawah organik. Petani di Dusun Brayut, Pendowoharjo, Sleman, ini juga menanam tanaman sayur untuk mencukupi kebutuhan harian serta memelihara 2 sapi untuk mendukung pertanian.
Hasil utama dari sapi itu bukanlah susu atau dagingnya, melainkan kotoran dan urine yang menjadi bahan utama untuk pupuk. Susu perah yang diambil harian merupakan "bonus" untuk menambah penghasilannya yang mengolah pertanian terpadu di atas lahan seluas 6.000 meter persegi ini. Sedangkan sebagian daun-daunan dari pertanian digunakan sebagai pakan ternak.
"Ilmu pertanian organik memang tidak ada habis-habisnya. Sampai sekarang saya juga masih terus belajar untuk mendapatkan metode paling efisien dengan modal yang saya miliki," tuturnya. Pemerhati pertanian organik mungkin bisa bernapas lega karena ternyata masih ada orang-orang muda seperti Prasetyo yang tertarik untuk terjun dalam pertanian organik.
Di Dusun Kleben, Desa Sidorejo, Godean, Sleman, petani yang tergabung dalam kelompok tani Bangun Rejo membuat laboratorium penelitian sebagai tempat berlatih para petani. Di laboratorium itu eksperimen ilmu-ilmu pertanian organik bisa dilakukan.
Kini, petani di Dusun Kleben itu tengah mencoba pembuatan urea cair organik yang berbahan dasar ikan air tawar yang dicampur dengan gula, dan ditutup rapat sekitar 3 bulan. Hasil fermentasi yang berbentuk cair itu digunakan sebagai biang untuk memupuk padi mereka.
Di tanah yang digunakan untuk laboratorium kelompok ini jugalah petani mencoba alih lahan dari pertanian hijau menjadi pertanian organik secara langsung. Pemakaian daun bambu diandalkan untuk menyerap bahan-bahan kimia dari tanah. Hasilnya, bobot gabah yang dipanen tidak berbeda dibandingkan gabah anorganik. Hasil ini selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Akan tetapi, Ketua Kelompok Tani Bangun Rejo, Purwanto, mengakui tidak semua petani berani menggunakan bahan-bahan organik 100 persen. Sebagian petani masih menambahkan pupuk kimia untuk tambahan. Pemakaian pupuk kimia ini dikurangi sebagian dalam setiap periode penanaman padi berikutnya.
Ia menambahkan, petani juga menerapkan metode peminjaman bibit bergulir, untuk petani dari daerah lain yang ingin mendapatkan bibit lokal. Bibit lokal ini diberikan kepada petani dari daerah lain secara gratis. Namun, petani itu harus melakukan konservasi atas bibit lokal tersebut sehingga setelah panen ada sebagian gabah yang digunakan untuk bibit lagi. Bibit tersebut digulirkan kepada petani lain yang ingin menerapkan metode pertanian organik. Salah satu keunggulan pertanian organik adalah pemakaian bibit lokal yang bisa terus menerus dilestarikan sehingga petani bisa menghemat pengeluaran untuk membeli bibit.
Bibit lokal ini pula yang memungkinkan petani untuk menggunakan satu gabah untuk tiap satu lubang tanam. Satu gabah itu akan berkembang menjadi puluhan anakan padi. Metode ini dikenal dengan nama system rice intensification (SRI). Dibandingkan metode konvensional, penanaman satu gabah untuk satu lubang tanam tidak dimungkinkan. Kebutuhan gabah per lubang tanam setidaknya tiga butir gabah, dengan anakan yang dihasilkan hanya belasan saja.
Keuntungan petani organik lainnya berupa katul dan menir. Di Desa Balak, Kecamatan Cawas, Klaten, sebagian petani organik menggunakan katul organik sebagai bahan pembuat minuman, yang juga bisa dijadikan alternatif pangan. "Syaratnya, proses pertanian yang digunakan harus betul-betul organik. Bila tidak, katul yang diperoleh masih mengandung bahan kimia," ucap Iryanto, salah satu petani organik yang bergabung dalam paguyuban tani organik.
Pengembangan pertanian organik inilah yang telah dilakukan sejumlah petani untuk menjadi mandiri dan melepas ketergantungan mereka dari apa pun. Peran negara diperlukan untuk melindungi aset yang berharga untuk pertanian organik, termasuk pendidikan petani, lahan, ternak, dan keseimbangan ekosistem. Inilah wujud "perlawanan" atas sebuah sistem besar yang telah menggurita puluhan tahun di tanah pertanian kita.
Antonius Budisusila dari Universitas Sanata Dharma menambahkan, sebagian petani mulai menerapkan vermaculture atau pertanian organik yang memperluas ketergantungan antara satu sarana produksi dan sarana produksi lain.
Sebagai contoh, air limbah rumah tangga yang tidak mengandung zat kimia digunakan untuk pengairan tanaman di sepanjang aliran tersebut. Selain mencukupi kebutuhan air untuk tanaman, air limbah itu tidak mengalir begitu saja, tetapi sudah dimanfaatkan lagi. "Satu hal yang perlu diwaspadai adalah munculnya ketergantungan baru pada pertanian organik, yakni adanya penjualan sarana produksi seperti obat pengendali hama atau pupuk organik yang diproduksi pabrik. Produk ini akan membuat ketergantungan petani pada produk organik, namun yang dihasilkan pabrik," ucapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar