Sabtu, 28 November 2009

Kascing untuk Pupuk Organik dan Pemulihan Tanah

* Manfaat Kascing untuk Pupuk Organik dan Pemulihan Tanah

CACING, kotoran sapi, air cucian beras, dan dedaunan agaknya punya "tuah". Lina Srijani Tjakranegara (39), warga Kompleks Perumahan BTN Blencong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, membuktikannya dengan cara meracik semua itu menjadi pupuk organik. "Saya aplikan (penerap-Red). Cuma melanjutkan temuan orang lain," ujar peraih Anugerah Teknologi Terapan-kategori pengembang dari Pemerintah Provinsi NTB Desember tahun 2002 itu.
Apa pun pengakuannya, Lina telah merintis dan kian membuka mata banyak orang bahwa limbah sumber daya alam tidak mesti terbuang percuma. Dengan teknologi sederhana dan kerja kerasnya, limbah-limbah itu mampu diolah jadi pupuk ramah lingkungan.
Bahan baku pupuk organik itu melimpah di Nusa Tenggara Barat (NTB). Sapi ternak yang berjumlah 300.000-an ekor di situ bisa menghasilkan 1,5 juta ton pupuk organik sehari. Itu belum termasuk kotoran ternak lain yang dibiarkan menumpuk di kandang, atau berceceran di jalan dan rumah penduduk yang justru jadi biang penyakit.
Adapun petani dan masyarakat oleh pola pendekatan pembangunan pertanian yang sentralistis di masa lalu terbiasa memakai pupuk kimia yang dalam banyak hal merusak unsur hara dalam tanah. Adanya penyakit mengerikan macam stroke dan kanker, misalnya, boleh jadi disumbangkan oleh penggunaan pupuk kimia terhadap sayuran, buah- buahan, dan makanan lain yang menggunakan zat pengawet.
Kondisi itu mendorong alumnus Teknologi Pascapanen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, ini berbuat sesuatu. Apalagi di tengah menyempitnya kepemilikan lahan pertanian, hasil panen padi menyusut, walau tanah ditaburi pupuk kimia, maksimal produksinya 4,5 - 5 ton per hektar. Pemakaian pupuk kimia berlebihan menjadikan tanah pecah-pecah dan mempengaruhi mutu gabah.
BAHAN baku cascing (pupuk cacing tanah) itu antara lain kotoran sapi dengan komposisi 60 persen, sisanya kotoran kuda, kulit buah cokelat, sejumlah dedaunan dan air cucian beras. Bahan ini diadon dijadikan makanan cacing jenis Lumbricus mallaccus dan Lumbricus rubellus. Adonan itu cukup ditumpuk pada bak penampungan cacing yang dengan sendirinya datang menghampiri pakan itu.
Cacing memiliki enzim di dalam tubuhnya yang bisa diubah menjadi pupuk, pengikat tanah berpasir, dan menetralkan tanah liat. Artinya, pupuk organik dapat diaplikasikan di lahan basah dan kering. Dengan produk enzim dari cacing, dibutuhkan jutaan cacing yang notabene diternakkan sendiri.
Dari serangkaian uji coba, Lina mengetahui tanaman padi per hektar memerlukan pupuk cacing tanah delapan kuintal hingga satu ton ketika tanah dalam proses penggemburan. Tahap awal ini memang diperlukan cukup banyak pupuk organik guna menetralkan tanah dari pemakaian pupuk kimia.
Setelah pupuk organik digunakan, terus berkurang jadi delapan kuintal, lalu enam kuintal. Bukti di lapangan menunjukkan, produktivitas padi tetap baik karena kondisi tanah semakin membaik, tanaman padi lebih tahan serangan hama, batang padi lebih kokoh, dan kematangan bulir padi lebih sempurna karena ketika dipanen pohonnya masih segar. Berbeda dengan batang padi tanpa memakai pupuk organik, yang merunduk dan tidak kuat menahan beban biji padi.
Uji coba pupuk organik dilakukan di Desa Batu Kliang, Lombok Tengah, meski tahap awal dinyatakan gagal karena pupuk itu diletakkan pada saluran air. Uji coba dilanjutkan di Desa Mujur, Lombok Tengah, dan pertumbuhan padi sangat bagus. "Saat musim angin, banyak tanaman padi yang roboh, tetapi padi yang pakai cascing berdiri tegak hampir seratus persen," tutur Rifai Hariyanto, suami Lina, selaku pendamping setia Lina bekerja.
Percobaan berikut dilakukan di Desa Tanjung, Lombok Barat, akhir tahun 2000. Ketika itu terjadi serangan hama wereng terhadap tanaman padi. Dari petak uji coba diketahui tiga petak yang memakai pupuk kimia menghasilkan dua karung gabah, atau setara dengan produksi dua petak lainnya yang memakai pupuk organik sejumlah dua karung.
Percobaan berikutnya di Kelurahan Karang Pule, Kota Mataram, yang hasilnya sangat baik. Areal tanah yang memakai pupuk organik awalnya menghasilkan lima ton padi, kedua enam ton, ketiga enam setengah ton, dan terakhir tujuh ton per hektar.
HANYA saja, untuk menerapkan teknologi itu banyak kendalanya. Petani yang menggarap sawah berstatus buruh tani (penyakap), bukan pemilik, selain lekatnya image pemakaian pupuk organik berbiaya mahal. Secara ekonomis, penggunaan pupuk organik terhadap komponen biaya proses produksi padi lebih mahal Rp 200.000 dibandingkan dengan memakai sarana produksi pupuk kimia (urea, pupuk cair, dan lain-lain). Perbedaan biaya untuk pupuk organik itu cuma pada tahap awal guna menetralkan tanah yang jenuh pupuk kimia. Selanjutnya biaya itu lebih murah sejalan dengan menurunnya penggunaan pupuk organik dan membaiknya unsur hara tanah.
Lina tidak mungkin memaksa pemerintah, masyarakat, maupun petani khususnya menggunakan pupuk organik bikinannya. Karena itu, ibu seorang putra berusia 3,5 bulan itu memilih cara sendiri. Selama dua tahun terakhir, dia mampu memenuhi tiga-empat ton pupuk organik sebulan untuk pemupukan tanaman pohon jati. Terbatasnya kemampuan produksi itu menjadikan dirinya tidak bisa memenuhi pesanan warga Jepang sejumlah 60 ton per bulan.
Lebih dari itu, sejak awal dia mengedepankan pemberdayaan ketimbang aspek ekonomis. Itu mengingat di hampir semua dusun kondisi kebersihan lingkungan sangat buruk, seperti di Dusun Jambianom dan Dusun Teluk Dalam, keduanya di Desa Persiapan Medana, Kecamatan Tanjung, Lombok Barat. Sanitasi dan lingkungan desa itu amat buruk: berada di daerah pesisir, genangan air laguna jadi sarang nyamuk beranak-pinak, kotoran sapi dan ternak lainnya seakan menyatu dengan rumah penduduk.
Di situlah "ladang" sasaran Lina, yang kemudian mendidik sejumlah warga membuat pupuk organik, dengan memanfaatkan bahan baku lokal. Lina sendiri membantu pengadaan cacing yang harganya relatif mahal, Rp 250.000 per kilogram, dan mustahil diperoleh warga dengan modal sendiri. Setahun terakhir di dusun itu kotoran ternak dalam kandang mulai bersih dan beberapa penduduk binaan Lina bisa menyediakan stok 25 ton pupuk organik. Sayang, pupuk organik bukan dipakai untuk memulihkan unsur hara tanah sawah bagi tanaman pangan dan lain-lain, melainkan umumnya dipesan untuk penanaman pohon jati.
Lina bukan penentu kebijakan. Dia hanya memberikan alternatif bagi para pemegang otoritas. "Saya tidak berpikir untung. Saya cuma ingin mengurangi ketergantungan petani dan lahan dari pemakaian pupuk kimia demi sanitasi dan lingkungan, termasuk masa depan kesehatan penduduk. Jika berhasil, yang untung adalah masyarakat, kita semua," ucap Lina.
Motivasi kerja disertai kemauan berbuat bagi orang banyak pada diri Lina, itulah yang tampaknya sulit dihitung dengan target-target ekonomis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar